Jumat, 28 Agustus 2015

Liam

Laki-laki itu membuka pintu kamar dengan paksa. jaket kulit yang melekat di badannya ditarik dan dilemparkannya sembarangan ke lantai marmer. Begitu juga dengan tubuhnya yang dibanting di atas kasurnya yang empuk dengan kepala menengadah ke langit-langit kamar. Wajahnya nampak letih, keringat merembes di pipi kiri dan kanan wajahnya yang ditumbuhi beberapa jerawat. Sementara alisnya yang tebal hampir terlihat menyatu sehingga membentuk tiga lekukan di tengah. Otot-otot wajahnya menegang, begitu pula otot tangannya yang mengepal kuat. Dengan hentakan keras ke kasurnya, ia duduk.

"Bukan aku yang jahat, Kanis. Tapi kamu. Kamu yang sudah bikin aku jadi gila begini." Laki-laki itu mengambil segelas air minum di meja dekat ranjangnya, meminumnya hingga habis dan membantingnya ke tembok sampai pecah berkeping-keping. Sebuah langkah berat terdengar mendekati kamar dengan terburu-buru.

"Ya ampun, Liam. udah balik dari Malang lo. Kok nggak bilang, gue kan bisa jemput." Laki-laki yang sepertinya teman kost Liam itu terlihat kaget. Matanya terlambat menyadari kondisi kamar yang berantakan ditambah pecahan gelas di lantai. Liam tak peduli.

"Kenapa sih lo? dateng-dateng ngamuk. Berantem sama cewek lo? Siapa namanya? Kanisi?" Tanyanya menebak.

"Berisik! Pergi sono!!" usir Liam gelap mata.

"Oh jadi gue diusir? Setelah gue lakuin mau lo, gue dibuang! Nggak tau apa orang lagi khawatir! Pergi ke Malang nggak bilang, pulangnya nongol gitu aja! Udah kayak jelangkung lo!"

Liam tak berkomentar. Matanya berusaha menghindari tatapan tanya temannya dengan berjalan mondar-mandir. Tangannya masih terkepal kuat menahan marah.

"Adik gue baru aja pulang ke Jakarta. Dia pengen ketemu sama lo, terus nitipin mendoan buat lo. Tau nggak, dia bikin sendiri kemaren buat lo. Tapi lo-nya nggak ada. Kalo lo emang nggak suka, seenggaknya jangan suka bikin kecewa orang dong." Laki-laki itu meletakkan mangkok berisi tempe mendoan ke atas meja begitu saja. Tatapannya masih mengarah kecewa ke Liam.

"Gue heran sama lo! Sebenarnya ngapain sih lo ngambil S-2 di ITS kalau lo jarang masuk kuliah. Terus bolak balik Malang-Surabaya dengan alasan nggak jelas. Merjuangin cinta lo? cinta yang mana? Gue liat cuman lo yang ngebet sama si Kanisi ini."

"Bisa diem nggak sih kamu!!"

"Diem? Selama ini gue diem, Liam! Lo nyuruh gue ngabsen bodong tiap kuliah, gue okein. Lo nyuruh gue bohong ke ibu kost soal kabur-kaburan lo ke Malang, gue iyain. Lo minta ditemenin kemana aja gue turutin. Gue sampe dianggep kacung lo, gue terima. Semua itu gue lakuin karena gue care sama lo. Prihatin sama lo!"

"Jadi kamu nyesel? Kalau nggak ikhlas bantu nggak apa-apa kok. Jangan jadi kayak cewek."

"Lo yang kayak cewek. Sekarang gue beneran capek hadepin lo. Nggak pernah ngaku salah, egois. Nyesel gue ngenalin lo sama adik gue. Tau nggak, setelah lo ngajakin dia ke Malang dia jadi berharap sama lo. Dan sekarang lo nggak peduli sama dia."

Liam menoleh ke temannya akhirnya. Tatapannya makin tajam mengarah ke bola mata temannya itu. Telunjuknya mengarah ke dada laki-laki di depannya.

"Gue-nggak-pernah-ada-hati-sama-adik-lo! Talia sendiri yang deketin gue, jadi lo-nggak-bisa-asal-nyalahin-gue, Dane! kata Liam dengan logat Jakarta yang tak kental. Tiap katanya mengandung penekanan yang berarti.  Dane kecewa. Wajahnya mendadak menegang dan detik berikutnya kepala Liam sudah menghantam tembok. Dogem berikutnya mengarah ke pipi kiri, lalu ke dada, ke wajah lagi. Darah merembes dari bibirnya yang pecah.

"Brengsek lo Liam! Nyesel gue temenan sama lo selama ini! Asal lo tau ya, gue mau bantuin lo karena gue pikir lo laki-laki dewasa yang bisa ngatasi masalah percintaan lo. Ternyata lo nggak lebih dari banci! Pantes Kanisi ninggalin lo. Cowok kayak lo nggak pantes dicintai!

Bukkk.... Bukkk....
Dane mengepalkan tangannya ke perut Liam. Tapi Liam tak membalasnya. Bahkan setelah beberapa bogem menghantam bagian tubuhnya yang lain. Dane berhenti melihat sikap pasrah Liam. Tubuhnya yang bermandikan keringat merosot ke lantai bersamaan dengan Liam yang bermandikan darah. Liam nyengir kuda sambil menghapus darah yang keluar dari sudut bibirnya.

"Kalau belum puas, kamu masih bisa mukulin aku lagi." kata Liam pasrah. Dane tertawa garing sambil berusaha berdiri.

"Lo pernah bilang kalau anak Jakarta itu kebanyakan brengsek. Sekarang lo buktiin ke gue kalau lo-arek suroboyo yang kata lo besar di Malang ternyata lebih brengsek dari anak Jakarta. Gue-lahir di Jakarta tapi gue nggak pernah sebrengsek lo yang ngejar cinta palsu dan ngasih cinta palsu ke cewek lain." Liam tersenyum mendengar cacian Dane. Tapi tak berusaha membalas omongannya. Karena dalam hatinya, ia membenarkan juga anggapan temannya itu.

"Kita selesai di sini. Gue nggak mau temenan sama orang yang sukuisme kayak lo. Disertasi lo diterima, mulai sekarang urus semuanya sendiri. Gue bukan kacung lo lagi." Dane meludah ke samping lalu berbalik keluar kamar. Liam memandanginya sampai benar-benar menghilang dari pintu kamarnya yang dibanting keras oleh Dane. Tawa garingnya melengking nyaring. Kata-kata Dane berlarian di kepalanya yang masih dipenuhi amarah. Jika dia orang yang brengsek, berarti tak ada harapan lagi baginya untuk mendapatkan kembali hati Kanisi.

"Brengsek kamu, Liam. Benar-benar brengsek." ulangnya berkali-kali sambil meninju lantai yang basah oleh darahnya. Di kepalanya terbayang wajah Kanisi yang mengatakan hal serupa padanya. Dari luar kamar, Dane mendengar tawa Liam yang seperti orang gila.

**


Tidak ada komentar:

Posting Komentar