Selasa, 15 Desember 2015

resensi buku Surga yang tak dirindukan







Asma Nadia.....

Siapa sih yang tak asing dengan nama itu, terutama di dunia kepenulisan. Pencetus lingkar pena dan penggerak banyak hati untuk ikut menorehkan tulisan berkualitas ini memang pantas dimasukkan ke dalam jajaran penulis paling diperhitungkan.

Dari sekian bukunya yang sudah difilmkan, buku "Surga yang tak dirindukan" ini menggelitik minat saya. Terutama pada judulnya yang menurut saya sangat berkelas. Surga yang diartikan sebagai tempat abadi dengan segala keindahan yang tak terkatakan, ditorehkan sebagai sesuatu yang tak dirindukan. Padahal sebagai manusia fana yang tahu pasti bakalan meninggalkan dunia ini, pasti mengharapkan kehidupan seindah surga di alam lain nantinya.

Otak bodoh saya tak begitu mengerti ketika kali pertama membaca judul buku itu. Setelah membaca sinopsis singkat di belakang buku, barulah saya faham kalau Surga yang dimaksudkan adalah kehidupan berumah tangga. Lalu mengapa tak dirindukan?

Ada Pras, Arini dan Bulan (nama samaran dari perempuan kelahiran Tionghoa) yang akhirnya menjadi nyonya Pras yang kedua. Barulah saya paham kalau kisah yang ingin diusung mbak Asma ini adalah tentang poligami. Oalah.......

Tema yang klise, yang marak terjadi di lingkungan sekitar kita dan tak sedikit yang diusung ke sinetron Indonesia dan film. Kenapa klise? Bagi saya cerita poligami sudah menjadi hal yang biasa sehingga untuk menuliskannya pun pasti sudah tahu pasti bagaimana cerita perempuan yang dipoligami. Istri pertama yang merasa teraniaya, mencoba sabar, ikhlas, suami yang lebih mendahulukan istri kedua, dan kisah senada yang sudah bisa ditebak bagaimana endingnya.

Tapi mengapa saya suka dengan buku Surga yang tak dirindukan ini?
Karena kemasannnya yang beda. Cara bertuturnya yang berkelas dengan alur jungkar balik, maju mundur, kadang flashback, yang tentu membuat saya terkagum-kagum sama mbak Asma. Kenapa dengan alur seperti itu, saya masih bisa menemukan benang merahnya. Bahkan tak terputus. Tersadarlah saya kalau goresan tangan mbak Asma memang tak sekedar acungan jempol. Pantas buat penulis sekaliber beliau.

Nadia, tokoh anak Arini yang ada di dalam novel dijadikan tokoh juga dalam filmnya. Hanya saja di dalam novelnya, Arini mempunyai 3 anak. Sementara di filmnya Arini hanya mempunyai satu orang anak. Nadia. Yang saya yakini pastilah diambil dari nama mbak Asma sendiri. (mungkin pendapat saya salah ya, red).

Peran yang bagus, cerita dengan tema klise yang mampu membuat saya terpana. Saya yakin kuncinya adalah hati. Menulis dengan penuh perasaan dan dedikasi yang tinggi. Yang saya yakini juga ditularkan mbak Asma ke penulis yang lain.

Satu kata buat mbak Asma.
Salut.
Dua kata berikutnya.
Subhanallah.
Mudah-mudahan lahir penulis sekaliber beliau yang bisa dengan indahnya menjungkar balikkan alur, mengemas kisah dengan cara yang apik dan tidak kehilangan benang merah. Subhanallah.
**