Rabu, 26 Agustus 2015

Kanis setelah dari rumah sakit

Perempuan paruh baya yang masih terlihat seperti remaja itu nampak panik melihat putri sulungnya dibopong masuk ke dalam rumah. Suaminya belum pulang sehingga kekhawatirannya tak begitu memadat. Tak bisa dibayangkan jika suaminya marah melihat anak sulung mereka lemah dan pucat. Sementara keadaan rumah sudah seperti habis dirampok. Siapa lagi yang akan dipersalahkannya nanti.

"Izza, kasih tau papa kalau kakakmu sudah pulang. Bilang jangan ngebut. Mama mau ngurus kakakmu dulu." kata perempuan itu ke anak bungsunya. Tanpa banyak komentar, Izza yang tadinya ikut berdiri menyambut kedatangan Kanis langsung mengambil hpnya di atas meja. Lalu memainkan jemarinya ke keypad hp dengan lincah. Setelah selesai, ia langsung menghambur ke dapur. Matanya sempat menatap laki-laki yang memapah kakaknya yang kini didudukkan di sofa. Tapi laki-laki itu sama sekali tak melihatnya, jadi ia kabur begitu saja. Sedikit jengkel.

"Aku nggak apa-apa ma. Jangan berlebihan begini. Aku nggak mau bikin semua orang repot." Kanis berusaha menenangkan mamanya yang menempelkan tangannya ke dahi, pipi, leher, tangan, kaki dan hampir seluruh tubuh Kanis.

"Ngomong apa kamu! Sejak lahir kamu sudah bikin mama repot. Kamu ngapain aja sampai sakit begini?" Ivy menoleh ke Izza yang muncul lagi sambil membawa segelas air putih. Diambilnya air putih itu dan disodorkannya ke Kanis.

"Minum sampai habis. Setelah itu makan, mama sudah masakin jamur kesukaan kamu."

"Aku nggak mau makan ma. Pengen tidur aja." protes Kanis. Mamanya memperhatikan wajah putri sulungnya yang memang nampak letih dan pucat. Tak tega untuk memaksanya, sehingga dia pun mengangguk pasrah.

"Ya sudah kamu tiduran dulu saja. Tapi setelah bangun harus langsung makan ya. Kalau nggak mau, paksa aja ya Nay.... eh Naya nggak keberatan kan?"

"Santai aja tante.... saya akan jagain Kanis sampai sembuh total. Salah saya juga sampai Kanis seperti ini. Saya tanggung jawab kok tante."

"Loh bukan begitu. Tante nggak nyalahin Naya kok....."

"Oh nggak apa-apa kok tante.... nggak disalahin juga saya merasa bersalah. Kan Kanis dititipin sama saya. Tapi saya nggak bisa jagain sampai dia sakit begini."

"Kalian ini! Aku bukan anak kecil. Ngapain ngeributin jagain aku segala!!" Protes Kanis. Diperlakukan seperti anak kecil ditambah perlakuan istimewa layaknya putri kerajaan sangatlah membosankan. Ia tak pernah suka diperlakukan seperti itu. Toh nyatanya ia bukan siapa-siapa dan tak pernah menjadi siapa-siapa. Membuat repot banyak orang dengan kondisinya yang biasa itu saja sudah bikin ia makin tak enak. Apalagi dengan perlakuan lebih.

"Kanis, kenapa kamu ngomong begitu. Semua orang khawatir sama kamu." Tefan yang bicara. Kanis sampai hampir lupa kalau ada Tefan di sebelahnya. Sepintas yang lalu ia masih mengira Nayalah yang memapahnya sampai masuk ke dalam rumah. Tapi Naya berdiri di dekat mamanya dan Izza. Sementara Tefan duduk di sebelahnya dengan tatapan penuh rasa simpati. Kanis benci tatapan seperti itu. Ia tak suka dikasihani. Tanpa diduga, Kanis berdiri dan pergi menuju kamarnya.

"Kanis! Kanis....." Mamanya memanggil dengan sedikit berteriak. Tapi Kanis tak menoleh sedikitpun.

"Biar saya temenin Kanis, tante." kata Naya lalu menyusul sahabatnya itu naik ke lantai dua. Tempat kamar Kanis berada. Tefan nampak ingin bicara, tapi melihat kepanikan yang masih melekat di wajah orang tua Kanis, ia memutuskan untuk diam saja. Saat ia melihat Izza, gadis kecil itu tertangkap basah sedang memperhatikannya dengan senyum kecil. Lalu buru-buru menunduk dan bersembunyi di balik punggung mamanya.

"Nak Tefan, maaf ya. Apa bener nak Tefan nggak tahu apa yang terjadi sama Kanis?!" Ivy bertanya penasaran.

"Saya nggak tahu apa-apa, tante. Kemaren Kanis sama Naya terus. Mungkin Naya yang lebih tahu. Saya tahunya Kanis di rumah sakit juga dari Naya." jawab Tefan jujur.

"Tapi Naya bilang nggak tahu. Tante harus nanya ke siapa dong. Kalau papanya nanya nanti, tante harus jawab apa?!"

"Saran saya, lebih baik nunggu sampai semuanya kembali stabil lagi tante. Biarin Kanis tenang dulu. Apalagi ada Naya. Mereka kan saling terbuka selama ini." Tefan berusaha menenangkan. Padahal jauh di hatinya, ia juga sama gusarnya dengan perempuan di depannya itu. Mungkin lebih gusar lagi karena ia benar-benar ingin tahu apa yang terjadi antara Kanis dengan Liam. Setidaknya itu kabar terakhir yang dia dapat dari Naya. Bahwa Kanis pergi berdua dengan Liam entah kemana. Hati kecilnya memendam amarah ke laki-laki yang katanya 'x'nya Kanis itu. Kalau terjadi apa-apa dengan Kanis, ia tak segan-segan untuk bikin perhitungan dengannya.

"Mana Kanis? Apa dia baik-baik saja?!" Om Bram sudah muncul. Kancing kemejanya di bagian atas sudah terbuka tak beraturan. Kepanikan jelas terlihat di wajahnya yang sangar.

"Tenang pa. Kanis sudah di kamarnya sama Naya. Semuanya baik-baik saja." tante Ivy menenangkan suaminya dengan mengelus dadanya yang naik turun. laki-laki itu tak begitu saja tenang tapi dia duduk juga di sofa. Setelah melihat Tefan, barulah nafasnya yang naik turun tadi terlihat kembali normal.

"Setiap kali ada masalah dengan Kanis, selalu ada kamu yang menyelesaikan. Terima kasih ya Tefan." katanya senang.

"Saya nggak berjasa apa-apa om. Naya yang....."

"Ya ya ya.... Naya dan kamu adalah orang terdekat Kanis saat ini. Saya tenang jika ada kalian berdua. Saya juga berterima kasih ke Naya. Kamu mau kan jagain Kanis buat om?!"

"Maksudnya om?!"

"Kamu tahu maksud om." Laki-laki itu beralih memandang istrinya. "Sudah disiapin makan siangnya ma? kita makan bareng habis ini."

"Sudah pa... tapi Kanis...."

"Nanti.... biar papa sendiri yang ngajak Kanis makan nanti. sekarang yang penting kita makan bareng Tefan. Nggak keberatan kan, Tefan?" katanya sambil menoleh ke Tefan. Sebenarnya Tefan mau menolak karena ia harus kembali ke kantornya, tapi melihat kesungguhan laki-laki di depannya itu, akhirnya Tefan pun mengangguk.

"Ayo mas Tefan....." Izza-lah yang menuntunnya ke meja makan pada akhirnya. Diantara semua yang ada di rumah itu, hanya Izza yang nampak tak begitu panik. Wajah polosnya menunjukkan anak sekolahan yang belum mengerti urusan orang dewasa. Tefan tak ingin menghilangkan kegembiraan dalam kepolosan gadis kecil itu, maka ia pun berusaha menebar senyuman dan bersikap senormal mungkin. Tak ada yang tahu kalau pikirannya masih berkutat di ruang kamar di atasnya. Dimana Kanis dan Naya ada di dalamnya.

**

"Aku pengen sendiri, Nay. Jangan paksa aku buat teriak!" Kanis jengkel juga melihat Naya yang membuntutinya terus-terusan. Ikut duduk di kasur, berdiri di dekat lemari pakaian, duduk di dekat komputer bahkan ikut selonjoran di lantai kamarnya yang berkarpet abstrak.

"Teriak aja. Toh dari tadi aku diem kan. Aku cuman nungguin kamu sampai buka mulut."

"Terus mau kamu apa?!"

"Beneran marah nih. Oke... aku cuman mau bilang kalau papa mamamu sampai batalin liburannya demi ngeliat anaknya yang sendirian di rumah. Oh aku nggak ngadu." katanya buru-buru melihat mata Kanis yang mendadak melotot padanya. "Mereka pulang dengan sendirinya karena nggak tega. Malahan mereka mau ngasih kejutan dengan mau ngajakin kamu ke lombok. Terapi pantai kata mamamu. Biar kamu tahu kalau pantai itu indah banget. Jadi nggak langit malam yang indah."

Kanis berhenti melotot. Wajah tegangnya berubah bingung mendengar penjelasan Naya. Langit malam, pantai. Sudah berapa banyak rahasianya yang dibongkar Naya di depan mamanya sendiri. Naya sepertinya tahu gelagat amarah Kanis, sehingga ia buru-buru mengubah kata-katanya.

"Maksudku apa kamu nggak kasihan sama mereka. Mereka sudah berusaha bikin kamu seneng, tapi kamu malah kayak nggak peduli. Bela-belain ketemu Liam, tapi ujungnya kamu nangis sampai sakit begini. Wajar kalau mereka khawatir."

"Terus aku harus gimana? Maksa pergi ke tempat yang aku nggak suka cuman demi nyenengin orang lain? Terus salah kalau aku milih mau nyelesain masalahku yang sudah jadi kerak di batinku. Aku bosen dikejar terus sama Liam. Aku jadi kayak buronan. Aku mau nendang dia jauh dari hidupku. Tapi dia nggak mau pergi. Malah ngancem....." Kanis menghentikan celotehnya. Tapi terlambat untuk membuat Naya tak mendengarkan.

"Jadi kalian bertengkar hebat. Liam ngancem apa?!" tanya Naya penasaran.

"Bukan apa-apa. Tinggalin aku sendiri, Nay.... please!!" Kanis memohon dengan air mata yang mau tumpah. tangannya memohon ke depan dada dengan kelelahan batin yang dirasakannya. Naya mengerti. Ia paham apa yang terjadi dengan Kanis dan Liam tanpa mendengar kelanjutan cerita Kanis. Raut wajahnya berubah tegang dan pucat. Sesuatu yang membara sedang membakar batinnya. Langkahnya pun terdengar berat ketika akhirnya ia keluar dari kamar Kanis. Meninggalkan sahabatnya yang menangis di atas ranjang dengan berpelukan pada guling mini mousenya.

Suara Izza menghentikan langkahnya sejenak di anak tangga. Gadis kecil itu memanggilnya untuk bergabung dengan anggota keluarga yang lain makan siang. Tefan masih duduk di sana menyantap hidangan di piringnya. Mata mereka bertemu, tapi gelengan kepala yang diberikan Naya. Naya tahu arti tatapan mata Tefan. Laki-laki itu pastilah ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Kanis seperti yang lain. Tapi saat ini ia tak ingin memberitahu siapapun. Naya hanya memberikan senyuman sekedarnya ke mereka, lalu berpamitan pulang.

Air matanya meleleh begitu kakinya beranjak keluar pintu rumah Kanis. Ia seperti bisa menebak apa yang dilakukan Liam terhadap Kanis. Sesuatu yang selalu dibayangkannya selama ini dan dia tak pernah berharap endingnya akan seperti ketakutannya. Panas matahari begitu menyengat di siang itu. Sepanas hati Naya yang dipenuhi amarah dan dengki. Tangannya menyetop taksi kosong dengan asal. Bersama deru mobil, ia berusaha menghempaskan bebannya di jalanan. Kini ia bisa merasakan tangisan pilu Kanis semalam.

**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar