Rabu, 16 September 2015

Puncak konflik Kanis-Liam

Kanis tak bisa mempercayai dirinya sendiri yang sedang duduk di dalam mobil bersama Liam. Berkali-kali gadis itu melirik panik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya, lalu ke jalanan dan langit pagi yang biru berawan cirrus. Kanis melirik jam digital di ponselnya dan menghela nafas panjang. Bukan pagi lagi jika angka di sana menunjukkan pukul 10 lewat lima menit. Tapi udara dingin pegunungan di daerah gunung banyak, pujon Malang membuat pagi yang beranjak siang itu nampak sejuk. Liam menangkap ketegangan yang dirasakan Kanis.

"Jangan khawatir, Nisi. Aku nggak bakalan nyulik kamu kok." katanya sambil tersenyum. Kanis balas tersenyum meski dengan keterpaksaan. Bukan karena pikiran buruk Kanis tentang penculikan dirinya oleh Liam, melainkan karena nama Nisi yang diucapkan laki-laki itu untuknya. Panggilan kesayangan Liam untuknya yang sudah lama tak terdengar lagi. Rasanya aneh mendengar nama yang ingin ia buang kembali berdengung di telinganya.

"Bisa manggil aku Kanis saja tidak." protes Kanis canggung.

"Oke, Kanis. Kanisi. Bagaimana? Senang?" katanya sambil melirik sepintas Kanis yang mengangguk pelan. Semenit kemudian keadaan kembali tegang karena baik Liam maupun Kanis sama-sama terdiam. Kanis memilih memperhatikan jalanan berliku khas pegunungan yang mulai menanjak naik. Jalanan aspal semakin menyempit dan berkelok-kelok. Tembok batu di sepanjang kiri jalan dan jurang di sepanjang kanan jalan, menjadikan perjalanan hari itu tak kalah mendebarkan dengan suasana hati Kanis.

Ia tahu kemana sebenarnya Liam akan membawanya. Harusnya ia menanyakannya dulu tadi sekedar untuk memastikan, tapi Kanis memilih diam seakan sudah bisa menebak tempat yang akan mereka tuju. Sikap yang kini disesalinya karena hanya akan memperbesar kepala Liam. Laki-laki itu selalu yakin kalau mereka punya ikatan batin. Kalau Kanis adalah soulmate-nya yang tak terpisahkan bahkan oleh maut. Keyakinan yang membuat Kanis seakan terkekang oleh rantai besi bernama cinta buta. cinta penuh obsesi.

"Terima kasih ya karena akhirnya kamu mau memenuhi keinginanku." katanya memecah keheningan. Kanis meliriknya sekilas lalu buru-buru menunduk. Tak kuasa ia melihat tatapan penuh misteri itu dari mata Liam. Kalau laki-laki itu begitu mencintainya, mengapa ia tak merasakan kedamaian setiap kali bersamanya. Perasaan yang ia rasakan tak pernah berubah dari dulu. Tekanan dan ketakutan. Tapi kadang simpati dan iba. Salahkah ia mengambil keputusan meninggalkannya dulu? Atau haruskah ia bertahan saja dengan gelombang pikiran yang naik turun hanya demi menjaga rasa cintanya.

Tidak tidak. Kanis yakin ia tak pernah salah dengan keputusannya dulu. Tapi mengapa ia sekarang ada bersamanya lagi. Mengapa ia mengiyakan ajakan laki-laki itu untuk kejutan yang disiapkan untuknya. Kanis tak pernah memperkirakan hal ini sebelumnya.

"Kamu sudah makan? Harusnya kita mampir ke tempat makan dulu buat sarapan." katanya penuh sesal.

"Aku sudah makan kok. Terima kasih." jawab Kanis bohong. Perutnya mendadak perih ketika mendengar kata makanan. Tadi pagi ia hanya menyempatkan menyantap donat kentang di atas meja makan yang tak bertuan. Ia bahkan tak sempat minum. Untunglah ia selalu membawa botol aqua di dalam tasnya.

"Kalau begitu nanti siang kita makan bakso di atas sana. Kesukaan kamu dulu. Inget nggak?" Liam mengingatkan memori masa lalu mereka yang luput dari otak Kanis. Tapi demi menjaga perasaan laki-laki itu ia mengangguk saja sambil tersenyum sekedarnya.

"Sebenarnya kita mau kemana?" tanya Kanis akhirnya. Meski ia tahu jawabannya, tapi tak lega rasanya jika tidak bertanya langsung.

"Kamu tahu tempatnya, Kanis. Sebentar lagi kita sampai. Aku harap anggapan kamu tentang aku berubah setelah kita sampai di sana." katanya penuh keyakinan. Tatapan laki-laki itu tetap mengarah ke depan di balik kemudinya, tapi Kanis yakin matanya tak berhenti memandang Kanis. Gadis itu mulai salah tingkah yang hanya ditanggapi dengan senyuman penuh pengertian Liam.

Perjalanan 1 jam itu tak terasa setelah mobil Liam berbelok di pertigaan jalanan beraspal menuju jalan kecil ke arah kanan. Jalannya naik dan seingat Kanis, beberapa tahun yang lalu jalanan itu masih sempit dan belum beraspal seperti sekarang. Sebuah papan nama besar terpasang di ujung pertigaan, menunjukkan nama tempat yang akan mereka tuju. "Paralayang". Kanis menggeleng pelan. Sudah berapa tahun ia tak mengunjungi tempat bersejarah baginya itu. Terakhir kali ia melihat tempat itu adalah di acara salah satu reality show di TV tentang perjalanan anak muda ke tempat-tempat ekstrim. Saat itu, ia melihat tarif paralayang sudah naik dan ada uang masuk menuju ke tempat itu. Sementara dulu, tempat itu masih gratis untuk umum.

"Sudah banyak yang berubah ya." kata Liam seakan menangkap pandangan Kanis. Setelah menempatkan mobilnya di area parkiran yang bertambah luas, mereka turun. Seketika udara pegunungan menyambut mereka dengan hangat. Kanis memejamkan mata sebentar, mencoba merasakan kedamaian yang mendadak singgah di hatinya.

"Wah ada atraksi downhill juga. Beruntung kita ke sini sekarang ya, babe?"

Kanis membuka matanya dan mendapati Liam sudah naik ke undakan di depannya. Beberapa orang membawa sepeda gunung berkumpul di salah satu pojok area bukit. Lengkap dengan pakaian kelompok dan peralatan khas olahraga ektrim itu. Kanis berkerut dahi ketika ingat sapaan Liam padanya beberapa detik yang lalu, tapi ia mengikuti Liam juga ketika tangan laki-laki itu melambai ke arahnya.

Pemandangan bukit hijau membentang di depannya layaknya permadani surgawi. Ketika kaki Kanis melangkah mendekati bibir bukit, nampak sawah berpetak-petak layaknya karpet alam yang tertata rapi tergelar di bawahnya. Sementara jalan raya, gedung, dan rumah-rumah terlihat seperti semut yang merayap mencari makanan. Kecil dan banyak. Sepintas Kanis merasa layaknya raksasa yang berdiri di atas desa dengan ratusan penduduknya.

"Indah ya. Masih sama seperti dulu. Berapa tahun ya?" Liam ikut memandang pemandangan menakjubkan di depannya itu. Diliriknya sekilas Kanis yang mengangguk tanda setuju. Tatapan gadis itu masih sibuk menjelajahi jendela alam di depannya. Regu paralayang rupanya sudah siap di salah satu sisi bukit. Seorang perempuan sedang dipasangkan peralatan paralayang oleh laki-laki yang sepertinya instrukturnya. Liam yang terobsesi ingin mencoba paralayang tapi selalu gagal itu berlari mendekat sambil menyeret tangan Kanis tanpa sadar.

Aw.... Kanis memekik kesakitan ketika pergelangan tangannya dipegang terlalu erat oleh Liam. Tapi suara Kanis terlalu kecil untuk didengarkan Liam.

"Sudah kuduga saat ini adalah saat yang tepat untuk ke sini. Jarang-jarang kita menyaksikan langsung adegan paralayang sekaligus downhill di sini. Bener nggak babe?" katanya sambil menoleh ke Kanis yang menggosok pergelangan tangannya yang sakit. Liam baru sadar dan langsung meraih pergelangan tangan Kanis. "Oh sorry, tadi kekencengan ya nariknya."

"Aku nggak apa-apa, Liam. dan bisa tidak manggil aku Kanis saja. Jangan babe."  Liam berhenti menarik tangan Kanis, tapi kemudian memegangnya lagi. Kali ini justru kedua tangannya yang berhasil diraih. Tanpa segan-segan, laki-laki itu justru mengecupnya lembut di depan banyak orang. Perempuan yang sudah siap terbang dengan parasut paralayang itu melihat apa yang dilakukan Liam dan dia tersenyum senang. Matanya bahkan sempat bertemu dengan mata Kanis dan perempuan itu mengedip seakan memberi dukungan. Kanis yang belum siap dengan apa yang dilakukan Liam buru-buru menarik tangannya dan menjauh.

"Apa-apaan kamu, Liam. Kamu sudah janji."

"Untuk kali saja boleh ya. Lagipula kamu sudah bersedia untuk satu hari bersamaku kan. Cuma satu hari, Kanis. Setelah itu terserah kamu."

"Tapi....."

"Kanis, kenapa sih kamu suka banget aku memohon. Apa lagi yang harus aku lakukan biar kamu ngerti perasaanku."

Mulai lagi deh. batin Kanis. Jadi Kanis memilih untuk mengangguk saja dan membiarkan Liam membawanya ke ujung bukit yang lain. Dimana sebuah pohon tumbuh di ujung bukit mengarah ke bawah jurang. Posisi pohon itu sedikit miring sehingga Kanis membayangkan akan terjatuh ke jurang jika ia naik ke batangnya.

Liam tidak berjalan ke pohon itu, melainkan duduk bersila di rumput yang menyebar di sekitar kaki pohon. Posisi Liam juga tidak berada di tanah yang sejajar dengan pohon, melainkan di tanah yang sedikit menjorok ke jurang. Kanis menegurnya, tapi Liam hanya memandangnya lalu menyuruhnya duduk di sebelahnya. Kanis memberanikan diri mendekat.

"Kamu ngapain duduk di sini, Liam. Nanti jatuh. Ke atas yuk..."

"Di sini saja. Aku ingin ngobrol dengan kamu di sini saja. Jangan menolakku terus. Please..." katanya mengiba. Kanis geleng-geleng kepala menanggapi sikap Liam yang sepertinya memanfaatkan sikap lunak Kanis. Tapi dia menurutinya juga. Hening beberapa saat ketika mata keduanya menikmati aksi parasut paralayang yang terbang melayang di kaki bukit. Perempuan yang tadi mengedipkan mata ke Kanis pun sudah terjun. Kanis mengenali parasutnya yang berwarna merah magenta. Dalam hati, Kanis membatin apa perempuan itu memperhatikan mereka yang duduk di tepi bukti ini ya.

Liam tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Tapi tatapannya masih mengarah ke parasut-parasut yang melayang itu. Kanis bertanya heran.

"Kamu kenapa, Liam? Apa ada yang lucu?"

"Nasibku yang lucu, Kanis. Kamu berhasil mempermainkan nasibku. Aku selalu kagum dengan kehebatanmu yang satu itu." Kanis merasa tertuduh. Tak terima.

"Apa maksudmu?" Kanis memandang Liam yang masih tak bergeming dengan pemandangan di depan mereka. Kanis ingin sekali Liam menatapnya saat itu dan memberikan penjelasan lewat matanya. Tapi laki-laki itu tak menoleh ke arahnya.

"Biasanya perempuan yang terlihat rapuh ketika putus cinta, sementara laki-laki tetap terlihat tegar. tapi rupanya itu tak berlaku buatku. Kanisi Megalian Cubri yang benar-benar membuatku terpuruk sampai hidupku terasa tak berarti lagi."

"Liam...."

"Aku nggak nyalahin kamu, Kanis. Maaf. Aku cuma mengasihi diriku sendiri yang terlalu mencintaimu. Meskipun aku tahu kamu nggak cinta aku lagi. Mungkin dari dulu kamu memang tak pernah mencintaiku. cintaku bertepuk sebelah tangan tanpa aku sadari."

Kanis menunduk. Dalam hati ia membenarkan perkataan Liam, tapi ia tak ingin mengakuinya. Setidaknya untuk saat ini. Pandangan Liam beralih padanya ketika tak ada jawaban dari Kanis. Laki-laki itu tersenyum miris sambil membuang muka lagi.

"Diam berarti iya. itu kan ciri khasmu. Aku nggak nyangka, Kanis."

"Liam..... aku...." Kanis tak tahu harus mengatakan apa untuk menghangatkan suasana lagi. Ia berusaha menemukan kalimat yang pantas, tapi tak menemukannya juga. Helaan nafas panjang terdengar dari tubuh Liam. Laki-laki itu mendadak saja berdiri dan menyodorkan tangannya untuk dipegang Kanis.

"Lupakan soal cinta yang bertepuk sebelah tangan. Hari ini aku ingin melihat senyum di wajahmu. Setidaknya untuk aku jadikan kenang-kenangan. Ayo..." Kanis tak segera meraih tangan Liam. Tapi dia berdiri juga. Liam nampak kecewa, tapi dipaksanya tersenyum.

"Seperti janji kamu di awal. Tak boleh bertanya dan ikuti semua petunjukku. cuma satu hari ini saja, Kanis."

"Oke..." Kanis lega sekaligus jengkel mendengar Liam menagih janjinya terus. Laki-laki itu tersenyum dan menawarkan untuk menggandeng tangan Kanis. Wajahnya dibuat mimik memelas sehingga Kanis mengiyakan saja. Berdua mereka berjalan menyusuri bukit paralayang yang mulai ramai pengunjung.

**



Senin, 14 September 2015

Cermin retak (Cerber)

Kokok ayam jantan berkumandang dengan merdu sementara suara adzan baru saja usai memecah keheningan pagi yang masih buta. Aktivitas warga belum terlihat di jalanan kampung yang berada di perkotaan itu. Hanya satu dua langkah yang terdengar berkejaran bersama angin. Sementara dari sebuah rumah yang tak begitu luas di salah satu ujung gang, terdengar langkah berat seseorang dari dalam rumah yang masih tertutup rapat itu. Sebuah lampu sudah menyala di area dapur, bersamaan dengan suara benda-benda dipindahkan, diangkat, disikat, diguyur air dan akhirnya pompa PDAM yang dinyalakan nyaring. Kehebohan itu ternyata dinikmati oleh seorang perempuan paruh baya yang tak lagi bisa berjalan tegak. Butuh beberapa menit baginya untuk bangkit dari jongkok dan tangan yang tak lupa menggapai tembok. Wajah letihnya yang diliputi kerutan di mana-mana tak menunjukkan protes. Bahkan ketika seorang anak perempuannya muncul di dapur dengan rambut awut-awutan.

"Belum selesai juga bersihin kamar mandinya? Aku ada kuliah pagi bu. Bisa terlambat aku kalau jam segini belum mandi juga." Katanya acuh. Tak dihiraukannya peluh di kening ibunya yang mengalir deras. Perempuan paruh baya itu hanya tersenyum menanggapi sikap anaknya.

"Sabar Ana. Kamar mandinya sudah bersih, tinggal diisi air. Sebentar lagi airnya juga sudah penuh." Ana melirik sepintas air di bak mandi yang mengucur deras dari selang yang disambungkan dari pompa PDAM. Gadis itu mengangguk pelan lalu melangkah masuk ke kamar mandi tanpa berkomentar apapun. Sementara perempuan paruh baya itu segera berpaling ke arah kompor dan menyiapkan penggorengan. Gerakannya masih cekatan meskipun langkahnya tak secepat gerakan tangannya. Dalam hitungan detik saja, perempuan paruh baya itu sudah mengeluarkan nasi dari dalam magic com ke dalam dua piring dan menuang minyak goreng ke dalam penggorengan. Gerakan tangannya berhenti mendadak ketika sebuah suara bariton mengagetkannya.

"Ibu bikin sarapan lagi? Biarin kak Ana sendiri yang bikin bu? Kenapa selalu ibu yang repot?"
Dama, si bungsu sekaligus anak laki-laki satu-satunya memandang tegang ibunya yang siap-siap menggerus bumbu. Matanya yang dipaksa terbuka memperlihatkan sikap protes akan apa yang dilakukan ibunya.

"Ibu nggak repot, Dama. Ibu nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa bagaimana? Ibu itu punya anak perempuan, tapi kenapa selalu ibu yang melakukan pekerjaan rumah. Seperti nggak punya anak perempuan saja. Lihat kaki ibu, sampai nggak  bisa jalan begitu."

"Sudahlah Dama. jangan ganggu kakak-kakakmu. Ibu nggak mau ada pertengkaran lagi."

"Tapi bu....."

"Ada apa sih pagi-pagi sudah berisik." Gadis lain muncul dengan tangan menutup mulutnya yang menguap. Sepintas terlihat gadis berkulit putih bersih itu sudah mandi dan bersih badan. Padahal gadis cantik itu baru bangun dari tidur. Rambutnya yang dicat kecoklatan tergerai lurus meski sedikit acak-acakan. Dama menyindirnya tanpa ampun.

"Ini lagi si ratu jagat raya. Bisanya dandan melulu, bersih-bersih rumah kek. Jangan bangun tidur maunya beres terus."

"Dama, jangan ngomong begitu sama kakakmu. Sarapan Titian?" Perempuan paruh baya itu melempar senyum tulusnya ke anaknya yang lain. Titian tak langsung menjawab. Matanya mengawasi dapur sepintas, lalu ke cucian piring yang sudah bersih dan berakhir ke tangan ibunya yang sibuk menggerus bumbu. Gadis itu menepuk jidatnya pelan, lalu menghampiri ibunya.

"Biar aku yang masak bu. Ibu duduk manis saja dan mandi. eh.... " Titian mengacungkan jarinya ketika ibunya hendak mengatakan sesuatu. Lalu melanjutkan bicara. "Aku tahu ibu sudah mandi sebelum jam tiga pagi, sholat tajahud, ngaji sampai subuh, bersihin kamar mandi, nyuci piring, nyapu, ngepel dan lain-lain yang seharusnya ibu serahin ke kami. Jadi jagoan ibu ini nggak asal main tuduh." Titian melirik Dama dengan sinis. Lalu kembali memperhatikan ibunya yang bermandikan keringat.

"Lihat keringat ibu, jadi seperti belum mandi kan. Turutin kata-kataku dong bu. Sikap ibu yang suka mengerjakan pekerjaan rumah tanpa menyuruh anak ibu bikin kami sering salah paham."

"Ya ya ya.... ibu tahu. Ibu salah lagi ya. Ibu minta maaf." Perempuan paruh baya itu berpaling pergi. Tangannya yang menggapai tembok diraih Dama. Lalu menuntunnya berjalan. Dama melotot ke kakaknya dengan tajam.

"Jangan salahin ibu terus dong kak. Kenapa sih bikin ibu nangis terus."

"Tuh kan. Mulai lagi deh." Titian menghela nafas panjang melihat sikap adiknya. Maksud hati ingin menjadi penengah, kini ia merasa menjadi sumber masalah yang selalu rumit.

**