Jumat, 28 Agustus 2015

Liam

Laki-laki itu membuka pintu kamar dengan paksa. jaket kulit yang melekat di badannya ditarik dan dilemparkannya sembarangan ke lantai marmer. Begitu juga dengan tubuhnya yang dibanting di atas kasurnya yang empuk dengan kepala menengadah ke langit-langit kamar. Wajahnya nampak letih, keringat merembes di pipi kiri dan kanan wajahnya yang ditumbuhi beberapa jerawat. Sementara alisnya yang tebal hampir terlihat menyatu sehingga membentuk tiga lekukan di tengah. Otot-otot wajahnya menegang, begitu pula otot tangannya yang mengepal kuat. Dengan hentakan keras ke kasurnya, ia duduk.

"Bukan aku yang jahat, Kanis. Tapi kamu. Kamu yang sudah bikin aku jadi gila begini." Laki-laki itu mengambil segelas air minum di meja dekat ranjangnya, meminumnya hingga habis dan membantingnya ke tembok sampai pecah berkeping-keping. Sebuah langkah berat terdengar mendekati kamar dengan terburu-buru.

"Ya ampun, Liam. udah balik dari Malang lo. Kok nggak bilang, gue kan bisa jemput." Laki-laki yang sepertinya teman kost Liam itu terlihat kaget. Matanya terlambat menyadari kondisi kamar yang berantakan ditambah pecahan gelas di lantai. Liam tak peduli.

"Kenapa sih lo? dateng-dateng ngamuk. Berantem sama cewek lo? Siapa namanya? Kanisi?" Tanyanya menebak.

"Berisik! Pergi sono!!" usir Liam gelap mata.

"Oh jadi gue diusir? Setelah gue lakuin mau lo, gue dibuang! Nggak tau apa orang lagi khawatir! Pergi ke Malang nggak bilang, pulangnya nongol gitu aja! Udah kayak jelangkung lo!"

Liam tak berkomentar. Matanya berusaha menghindari tatapan tanya temannya dengan berjalan mondar-mandir. Tangannya masih terkepal kuat menahan marah.

"Adik gue baru aja pulang ke Jakarta. Dia pengen ketemu sama lo, terus nitipin mendoan buat lo. Tau nggak, dia bikin sendiri kemaren buat lo. Tapi lo-nya nggak ada. Kalo lo emang nggak suka, seenggaknya jangan suka bikin kecewa orang dong." Laki-laki itu meletakkan mangkok berisi tempe mendoan ke atas meja begitu saja. Tatapannya masih mengarah kecewa ke Liam.

"Gue heran sama lo! Sebenarnya ngapain sih lo ngambil S-2 di ITS kalau lo jarang masuk kuliah. Terus bolak balik Malang-Surabaya dengan alasan nggak jelas. Merjuangin cinta lo? cinta yang mana? Gue liat cuman lo yang ngebet sama si Kanisi ini."

"Bisa diem nggak sih kamu!!"

"Diem? Selama ini gue diem, Liam! Lo nyuruh gue ngabsen bodong tiap kuliah, gue okein. Lo nyuruh gue bohong ke ibu kost soal kabur-kaburan lo ke Malang, gue iyain. Lo minta ditemenin kemana aja gue turutin. Gue sampe dianggep kacung lo, gue terima. Semua itu gue lakuin karena gue care sama lo. Prihatin sama lo!"

"Jadi kamu nyesel? Kalau nggak ikhlas bantu nggak apa-apa kok. Jangan jadi kayak cewek."

"Lo yang kayak cewek. Sekarang gue beneran capek hadepin lo. Nggak pernah ngaku salah, egois. Nyesel gue ngenalin lo sama adik gue. Tau nggak, setelah lo ngajakin dia ke Malang dia jadi berharap sama lo. Dan sekarang lo nggak peduli sama dia."

Liam menoleh ke temannya akhirnya. Tatapannya makin tajam mengarah ke bola mata temannya itu. Telunjuknya mengarah ke dada laki-laki di depannya.

"Gue-nggak-pernah-ada-hati-sama-adik-lo! Talia sendiri yang deketin gue, jadi lo-nggak-bisa-asal-nyalahin-gue, Dane! kata Liam dengan logat Jakarta yang tak kental. Tiap katanya mengandung penekanan yang berarti.  Dane kecewa. Wajahnya mendadak menegang dan detik berikutnya kepala Liam sudah menghantam tembok. Dogem berikutnya mengarah ke pipi kiri, lalu ke dada, ke wajah lagi. Darah merembes dari bibirnya yang pecah.

"Brengsek lo Liam! Nyesel gue temenan sama lo selama ini! Asal lo tau ya, gue mau bantuin lo karena gue pikir lo laki-laki dewasa yang bisa ngatasi masalah percintaan lo. Ternyata lo nggak lebih dari banci! Pantes Kanisi ninggalin lo. Cowok kayak lo nggak pantes dicintai!

Bukkk.... Bukkk....
Dane mengepalkan tangannya ke perut Liam. Tapi Liam tak membalasnya. Bahkan setelah beberapa bogem menghantam bagian tubuhnya yang lain. Dane berhenti melihat sikap pasrah Liam. Tubuhnya yang bermandikan keringat merosot ke lantai bersamaan dengan Liam yang bermandikan darah. Liam nyengir kuda sambil menghapus darah yang keluar dari sudut bibirnya.

"Kalau belum puas, kamu masih bisa mukulin aku lagi." kata Liam pasrah. Dane tertawa garing sambil berusaha berdiri.

"Lo pernah bilang kalau anak Jakarta itu kebanyakan brengsek. Sekarang lo buktiin ke gue kalau lo-arek suroboyo yang kata lo besar di Malang ternyata lebih brengsek dari anak Jakarta. Gue-lahir di Jakarta tapi gue nggak pernah sebrengsek lo yang ngejar cinta palsu dan ngasih cinta palsu ke cewek lain." Liam tersenyum mendengar cacian Dane. Tapi tak berusaha membalas omongannya. Karena dalam hatinya, ia membenarkan juga anggapan temannya itu.

"Kita selesai di sini. Gue nggak mau temenan sama orang yang sukuisme kayak lo. Disertasi lo diterima, mulai sekarang urus semuanya sendiri. Gue bukan kacung lo lagi." Dane meludah ke samping lalu berbalik keluar kamar. Liam memandanginya sampai benar-benar menghilang dari pintu kamarnya yang dibanting keras oleh Dane. Tawa garingnya melengking nyaring. Kata-kata Dane berlarian di kepalanya yang masih dipenuhi amarah. Jika dia orang yang brengsek, berarti tak ada harapan lagi baginya untuk mendapatkan kembali hati Kanisi.

"Brengsek kamu, Liam. Benar-benar brengsek." ulangnya berkali-kali sambil meninju lantai yang basah oleh darahnya. Di kepalanya terbayang wajah Kanisi yang mengatakan hal serupa padanya. Dari luar kamar, Dane mendengar tawa Liam yang seperti orang gila.

**


Rabu, 26 Agustus 2015

Kanis setelah dari rumah sakit

Perempuan paruh baya yang masih terlihat seperti remaja itu nampak panik melihat putri sulungnya dibopong masuk ke dalam rumah. Suaminya belum pulang sehingga kekhawatirannya tak begitu memadat. Tak bisa dibayangkan jika suaminya marah melihat anak sulung mereka lemah dan pucat. Sementara keadaan rumah sudah seperti habis dirampok. Siapa lagi yang akan dipersalahkannya nanti.

"Izza, kasih tau papa kalau kakakmu sudah pulang. Bilang jangan ngebut. Mama mau ngurus kakakmu dulu." kata perempuan itu ke anak bungsunya. Tanpa banyak komentar, Izza yang tadinya ikut berdiri menyambut kedatangan Kanis langsung mengambil hpnya di atas meja. Lalu memainkan jemarinya ke keypad hp dengan lincah. Setelah selesai, ia langsung menghambur ke dapur. Matanya sempat menatap laki-laki yang memapah kakaknya yang kini didudukkan di sofa. Tapi laki-laki itu sama sekali tak melihatnya, jadi ia kabur begitu saja. Sedikit jengkel.

"Aku nggak apa-apa ma. Jangan berlebihan begini. Aku nggak mau bikin semua orang repot." Kanis berusaha menenangkan mamanya yang menempelkan tangannya ke dahi, pipi, leher, tangan, kaki dan hampir seluruh tubuh Kanis.

"Ngomong apa kamu! Sejak lahir kamu sudah bikin mama repot. Kamu ngapain aja sampai sakit begini?" Ivy menoleh ke Izza yang muncul lagi sambil membawa segelas air putih. Diambilnya air putih itu dan disodorkannya ke Kanis.

"Minum sampai habis. Setelah itu makan, mama sudah masakin jamur kesukaan kamu."

"Aku nggak mau makan ma. Pengen tidur aja." protes Kanis. Mamanya memperhatikan wajah putri sulungnya yang memang nampak letih dan pucat. Tak tega untuk memaksanya, sehingga dia pun mengangguk pasrah.

"Ya sudah kamu tiduran dulu saja. Tapi setelah bangun harus langsung makan ya. Kalau nggak mau, paksa aja ya Nay.... eh Naya nggak keberatan kan?"

"Santai aja tante.... saya akan jagain Kanis sampai sembuh total. Salah saya juga sampai Kanis seperti ini. Saya tanggung jawab kok tante."

"Loh bukan begitu. Tante nggak nyalahin Naya kok....."

"Oh nggak apa-apa kok tante.... nggak disalahin juga saya merasa bersalah. Kan Kanis dititipin sama saya. Tapi saya nggak bisa jagain sampai dia sakit begini."

"Kalian ini! Aku bukan anak kecil. Ngapain ngeributin jagain aku segala!!" Protes Kanis. Diperlakukan seperti anak kecil ditambah perlakuan istimewa layaknya putri kerajaan sangatlah membosankan. Ia tak pernah suka diperlakukan seperti itu. Toh nyatanya ia bukan siapa-siapa dan tak pernah menjadi siapa-siapa. Membuat repot banyak orang dengan kondisinya yang biasa itu saja sudah bikin ia makin tak enak. Apalagi dengan perlakuan lebih.

"Kanis, kenapa kamu ngomong begitu. Semua orang khawatir sama kamu." Tefan yang bicara. Kanis sampai hampir lupa kalau ada Tefan di sebelahnya. Sepintas yang lalu ia masih mengira Nayalah yang memapahnya sampai masuk ke dalam rumah. Tapi Naya berdiri di dekat mamanya dan Izza. Sementara Tefan duduk di sebelahnya dengan tatapan penuh rasa simpati. Kanis benci tatapan seperti itu. Ia tak suka dikasihani. Tanpa diduga, Kanis berdiri dan pergi menuju kamarnya.

"Kanis! Kanis....." Mamanya memanggil dengan sedikit berteriak. Tapi Kanis tak menoleh sedikitpun.

"Biar saya temenin Kanis, tante." kata Naya lalu menyusul sahabatnya itu naik ke lantai dua. Tempat kamar Kanis berada. Tefan nampak ingin bicara, tapi melihat kepanikan yang masih melekat di wajah orang tua Kanis, ia memutuskan untuk diam saja. Saat ia melihat Izza, gadis kecil itu tertangkap basah sedang memperhatikannya dengan senyum kecil. Lalu buru-buru menunduk dan bersembunyi di balik punggung mamanya.

"Nak Tefan, maaf ya. Apa bener nak Tefan nggak tahu apa yang terjadi sama Kanis?!" Ivy bertanya penasaran.

"Saya nggak tahu apa-apa, tante. Kemaren Kanis sama Naya terus. Mungkin Naya yang lebih tahu. Saya tahunya Kanis di rumah sakit juga dari Naya." jawab Tefan jujur.

"Tapi Naya bilang nggak tahu. Tante harus nanya ke siapa dong. Kalau papanya nanya nanti, tante harus jawab apa?!"

"Saran saya, lebih baik nunggu sampai semuanya kembali stabil lagi tante. Biarin Kanis tenang dulu. Apalagi ada Naya. Mereka kan saling terbuka selama ini." Tefan berusaha menenangkan. Padahal jauh di hatinya, ia juga sama gusarnya dengan perempuan di depannya itu. Mungkin lebih gusar lagi karena ia benar-benar ingin tahu apa yang terjadi antara Kanis dengan Liam. Setidaknya itu kabar terakhir yang dia dapat dari Naya. Bahwa Kanis pergi berdua dengan Liam entah kemana. Hati kecilnya memendam amarah ke laki-laki yang katanya 'x'nya Kanis itu. Kalau terjadi apa-apa dengan Kanis, ia tak segan-segan untuk bikin perhitungan dengannya.

"Mana Kanis? Apa dia baik-baik saja?!" Om Bram sudah muncul. Kancing kemejanya di bagian atas sudah terbuka tak beraturan. Kepanikan jelas terlihat di wajahnya yang sangar.

"Tenang pa. Kanis sudah di kamarnya sama Naya. Semuanya baik-baik saja." tante Ivy menenangkan suaminya dengan mengelus dadanya yang naik turun. laki-laki itu tak begitu saja tenang tapi dia duduk juga di sofa. Setelah melihat Tefan, barulah nafasnya yang naik turun tadi terlihat kembali normal.

"Setiap kali ada masalah dengan Kanis, selalu ada kamu yang menyelesaikan. Terima kasih ya Tefan." katanya senang.

"Saya nggak berjasa apa-apa om. Naya yang....."

"Ya ya ya.... Naya dan kamu adalah orang terdekat Kanis saat ini. Saya tenang jika ada kalian berdua. Saya juga berterima kasih ke Naya. Kamu mau kan jagain Kanis buat om?!"

"Maksudnya om?!"

"Kamu tahu maksud om." Laki-laki itu beralih memandang istrinya. "Sudah disiapin makan siangnya ma? kita makan bareng habis ini."

"Sudah pa... tapi Kanis...."

"Nanti.... biar papa sendiri yang ngajak Kanis makan nanti. sekarang yang penting kita makan bareng Tefan. Nggak keberatan kan, Tefan?" katanya sambil menoleh ke Tefan. Sebenarnya Tefan mau menolak karena ia harus kembali ke kantornya, tapi melihat kesungguhan laki-laki di depannya itu, akhirnya Tefan pun mengangguk.

"Ayo mas Tefan....." Izza-lah yang menuntunnya ke meja makan pada akhirnya. Diantara semua yang ada di rumah itu, hanya Izza yang nampak tak begitu panik. Wajah polosnya menunjukkan anak sekolahan yang belum mengerti urusan orang dewasa. Tefan tak ingin menghilangkan kegembiraan dalam kepolosan gadis kecil itu, maka ia pun berusaha menebar senyuman dan bersikap senormal mungkin. Tak ada yang tahu kalau pikirannya masih berkutat di ruang kamar di atasnya. Dimana Kanis dan Naya ada di dalamnya.

**

"Aku pengen sendiri, Nay. Jangan paksa aku buat teriak!" Kanis jengkel juga melihat Naya yang membuntutinya terus-terusan. Ikut duduk di kasur, berdiri di dekat lemari pakaian, duduk di dekat komputer bahkan ikut selonjoran di lantai kamarnya yang berkarpet abstrak.

"Teriak aja. Toh dari tadi aku diem kan. Aku cuman nungguin kamu sampai buka mulut."

"Terus mau kamu apa?!"

"Beneran marah nih. Oke... aku cuman mau bilang kalau papa mamamu sampai batalin liburannya demi ngeliat anaknya yang sendirian di rumah. Oh aku nggak ngadu." katanya buru-buru melihat mata Kanis yang mendadak melotot padanya. "Mereka pulang dengan sendirinya karena nggak tega. Malahan mereka mau ngasih kejutan dengan mau ngajakin kamu ke lombok. Terapi pantai kata mamamu. Biar kamu tahu kalau pantai itu indah banget. Jadi nggak langit malam yang indah."

Kanis berhenti melotot. Wajah tegangnya berubah bingung mendengar penjelasan Naya. Langit malam, pantai. Sudah berapa banyak rahasianya yang dibongkar Naya di depan mamanya sendiri. Naya sepertinya tahu gelagat amarah Kanis, sehingga ia buru-buru mengubah kata-katanya.

"Maksudku apa kamu nggak kasihan sama mereka. Mereka sudah berusaha bikin kamu seneng, tapi kamu malah kayak nggak peduli. Bela-belain ketemu Liam, tapi ujungnya kamu nangis sampai sakit begini. Wajar kalau mereka khawatir."

"Terus aku harus gimana? Maksa pergi ke tempat yang aku nggak suka cuman demi nyenengin orang lain? Terus salah kalau aku milih mau nyelesain masalahku yang sudah jadi kerak di batinku. Aku bosen dikejar terus sama Liam. Aku jadi kayak buronan. Aku mau nendang dia jauh dari hidupku. Tapi dia nggak mau pergi. Malah ngancem....." Kanis menghentikan celotehnya. Tapi terlambat untuk membuat Naya tak mendengarkan.

"Jadi kalian bertengkar hebat. Liam ngancem apa?!" tanya Naya penasaran.

"Bukan apa-apa. Tinggalin aku sendiri, Nay.... please!!" Kanis memohon dengan air mata yang mau tumpah. tangannya memohon ke depan dada dengan kelelahan batin yang dirasakannya. Naya mengerti. Ia paham apa yang terjadi dengan Kanis dan Liam tanpa mendengar kelanjutan cerita Kanis. Raut wajahnya berubah tegang dan pucat. Sesuatu yang membara sedang membakar batinnya. Langkahnya pun terdengar berat ketika akhirnya ia keluar dari kamar Kanis. Meninggalkan sahabatnya yang menangis di atas ranjang dengan berpelukan pada guling mini mousenya.

Suara Izza menghentikan langkahnya sejenak di anak tangga. Gadis kecil itu memanggilnya untuk bergabung dengan anggota keluarga yang lain makan siang. Tefan masih duduk di sana menyantap hidangan di piringnya. Mata mereka bertemu, tapi gelengan kepala yang diberikan Naya. Naya tahu arti tatapan mata Tefan. Laki-laki itu pastilah ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Kanis seperti yang lain. Tapi saat ini ia tak ingin memberitahu siapapun. Naya hanya memberikan senyuman sekedarnya ke mereka, lalu berpamitan pulang.

Air matanya meleleh begitu kakinya beranjak keluar pintu rumah Kanis. Ia seperti bisa menebak apa yang dilakukan Liam terhadap Kanis. Sesuatu yang selalu dibayangkannya selama ini dan dia tak pernah berharap endingnya akan seperti ketakutannya. Panas matahari begitu menyengat di siang itu. Sepanas hati Naya yang dipenuhi amarah dan dengki. Tangannya menyetop taksi kosong dengan asal. Bersama deru mobil, ia berusaha menghempaskan bebannya di jalanan. Kini ia bisa merasakan tangisan pilu Kanis semalam.

**

Kanis setelah menangis semalam

Kanis tak menyangka jika Naya masih berada di dekatnya hingga subuh. Ia bahkan tak berusaha menyingkirkan kepala Kanis dari pangkuannya. Ketika mata Kanis akhirnya terbuka oleh silau mentari yang menyemburat lewat gorden kamarnya, Kanis langsung terduduk dan mengangkat kepalanya dari pangkuan Naya. Gadis manis berkulit sawo matang itu masih tertidur dengan bersandar di pinggiran ranjangnya. Kakinya pastilah kesemutan menahan kepala Kanis semalaman suntuk. Kanis terharu, perlahan dipeluknya sahabatnya itu tanpa bermaksud membangunkannya. Tapi terlambat, sentuhan tangan Kanis membuat kelopak mata Naya bergerak lalu membuka dengan perlahan. Dengan kepanikan yang sama seperti semalam, ia bergerak memegangi tangan Kanis.

"Kanis, kamu nggak apa-apa?! ya ampun... kamu panas." tangan Naya sudah berpindah ke dahi Kanis dengan sendirinya. Kanis ikut memegangi dahinya yang terasa hangat. Tapi ekspresi wajahnya terlihat datar.

"Makasih ya Nay, mau nemenin aku semalaman. Kamu pasti capek."

"Ngapain mikirin aku. Kamu yang perlu dipikirin. Memangnya Liam ngapain kamu sampai kamu nangis begitu. Liat nih, sekarang kamu sakit."

"Jangan dibahas dulu ya. Aku ...."

"Oke, nggak sekarang tapi nanti kamu harus cerita. Sekarang kita ke dokter. Aku nggak mau disalahin papa mamamu karena ninggalin anaknya sampai sakit begini."

"Loh, mereka sudah pulang?" Kanis merasa gugup. Kalau orang tuanya sudah pulang dari berlibur, berarti mereka tahu tentang keadaannya semalam. Dan itu artinya....

"Santai saja, mereka masih di Bali sama Izza. Kalau tahu kamu bakalan dibikin nangis begitu sama Liam, mending kamu ikutan keluargamu liburan ke Bali. Seneng-seneng di sanur, kute."

"Aku nggak suka pantai. kamu sudah tahu itu kan."

"Oke.... no comment. Tapi sekarang nggak boleh nolak ke dokter. Ayo..."

Naya membantu Kanis berdiri, tapi keduanya malah jatuh ke tempat tidur. Kanis tertawa, tapi tak berapa lama karena Naya mencubitnya cukup keras di lengan. Bukan lelucon. sindirnya. Lalu dengan tenaga yang dipunyanya, gadis manis itu memapah Kanis keluar kamar. wajah Kanis yang semakin pucat membuat Naya makin khawatir. Di depan pintu kamar, ia menelpon taksi. lalu berhati-hati menuruni tangga. Tak dihiraukannya Kanis yang berusaha berjalan sendiri.

**

Tefan sedikit berlari menuju ruang rawat melati di lantai dua rumah sakit. Sms dari Naya membuat kekhawatirannya semakin menjadi hingga ia beberapa kali hampir menabrak perawat yang lewat. Nafasnya yang menderu kencang akhirnya perlahan tenang setelah melihat Naya berdiri di depan pintu kamar rawat bersama seorang dokter. Ia pun menghampiri mereka.

"Gimana Kanis?! Apa ada yang serius?!" tanya Tefan memburu. Naya yang kaget dengan kemunculan laki-laki yang memang sedang ditunggunya itu berusaha menenangkan. Namun dokterlah yang menjawab Tefan.

"Mbak Kanis hanya kecapekan, sebentar lagi juga boleh pulang. Sarankan untuk istirahat ya. Jangan terlalu banyak mikir."

"Makasih dok." Naya yang menjawab. Dokter itu pun tersenyum dan berlalu dengan tenang. Tefan ikut lega mendengarnya lalu bergegas masuk ke ruang rawat.

Kanis tiduran setengah duduk di atas ranjangnya. Wajah pucatnya memandang Tefan dengan gusar. Ia enggan ditanya soal kejadian kemaren. Malu bercampur marah jika Tefan mendengarnya. Beruntung hanya Naya yang melihat tangisannya yang seperti bayi semalam.

"Jangan bicara dulu. Aku ada di sini kok. Habis ini kamu pulang, aku akan ikut jagain sampai kamu beneran sehat lagi." kata Tefan menenangkan. Ia bisa melihat kelegaan yang sama di mata Kanis. Seperti dugaannya, gadis berkulit putih bersih itu masih tak ingin membuka cerita tentang Liam. Sosok yang membuatnya merasa tersaingi. Tefan mengerti. Berusaha mengerti untuk tak membuka cerita di saat kondisi Kanis selemah ini. Ia tahu, gadisnya itu bukan sakit fisik. Tapi batin. Di dasar hatinya, ia berharap bisa menambal luka batin Kanis meskipun hanya sedikit.



Selasa, 25 Agustus 2015

Kanis

Kanis tak memahami mengapa begitu sulit melupakan masa lalu. Semakin ia berusaha untuk melupakannya semakin perih rasa di hatinya. Air matanya bahkan terus menerus tumpah seakan tiada akhir. Ingin sekali ia berteriak sekencang-kencangnya, namun hanya suara hatinya yang memberontak sementara tak ada suara apapun yang mampu keluar dari pita suaranya.

"Kamu nggak akan bisa ngelupain aku, Kanis. Aku jamin itu karena aku adalah masa lalumu, masa kinimu dan masa depanmu!" Suara Liam yang menjatuhkan vonis kepadanya terngiang-ngiang di telinganya. tanpa suara tapi terus bersemilir layaknya angin sepoi yang tenang namun tajam menusuk. Kenapa laki-laki itu tak mau pergi darinya. berapa jauhnya dia berusaha lari darinya, laki-laki itu tetap akan menemukannya. kemana lagi dia harus sembunyi?

"Kanis, ya ampun. kamu kenapa?!" Naya menemukannya akhirnya. tapi terlambat untuk menyembunyikan air mata yang sudah berhasil membuat matanya bengkak dan sembab. Tanpa berusaha menutupinya lagi, Kanis memeluk Naya dengan erat. air matanya kembali tumpah. Kali ini ia tumpahkan sekalian sejadi-jadinya. Naya urung mengajukan pertanyaan melihat kondisi sahabatnya yang nampak rapuh. Dengan lembut, ia usap punggung Kanis sambil menepuknya perlahan. Berharap usahanya itu mampu menenangkan guncahan hati yang dirasakan Kanis.

"keluarkan semuanya, Kanis. Biar lega. Aku di sini, jangan khawatir. Setelah tenang baru kamu cerita." kata Naya menenangkan. Kanis mempererat pelukannya bersamaan dengan air matanya yang semakin menjadi. seperti kata Naya, keluarkan semuanya. Maka ia berusaha mengeluarkan segala perih di hatinya lewat air matanya. Tanpa kata-kata. hanya tangisan yang terdengar pilu di telinganya sendiri. Bukan saatnya untuk mengasihi diri sendiri. Kanis merasa beban itu harus benar-benar ia keluarkan dari tubuhnya, dari jiwanya yang seakan terjebak masa lalu. Naya menemaninya dengan sabar tanpa mengajukan pertanyaan. Hanya pelukan tanda pengertian. Kanis bersyukur Naya datang. Kanis beruntung ada Naya di saat yang ia butuhkan. Entah sudah berapa detik yang berganti menit dan jam yang ia lewati bersama tangisannya. Saat beban itu perlahan keluar dari tubuhnya, ia merasa lelah. tenaga dan batinnya terkuras dan tanpa sadar matanya terpejam dalam pangkuan Naya.