Selasa, 15 Desember 2015

resensi buku Surga yang tak dirindukan







Asma Nadia.....

Siapa sih yang tak asing dengan nama itu, terutama di dunia kepenulisan. Pencetus lingkar pena dan penggerak banyak hati untuk ikut menorehkan tulisan berkualitas ini memang pantas dimasukkan ke dalam jajaran penulis paling diperhitungkan.

Dari sekian bukunya yang sudah difilmkan, buku "Surga yang tak dirindukan" ini menggelitik minat saya. Terutama pada judulnya yang menurut saya sangat berkelas. Surga yang diartikan sebagai tempat abadi dengan segala keindahan yang tak terkatakan, ditorehkan sebagai sesuatu yang tak dirindukan. Padahal sebagai manusia fana yang tahu pasti bakalan meninggalkan dunia ini, pasti mengharapkan kehidupan seindah surga di alam lain nantinya.

Otak bodoh saya tak begitu mengerti ketika kali pertama membaca judul buku itu. Setelah membaca sinopsis singkat di belakang buku, barulah saya faham kalau Surga yang dimaksudkan adalah kehidupan berumah tangga. Lalu mengapa tak dirindukan?

Ada Pras, Arini dan Bulan (nama samaran dari perempuan kelahiran Tionghoa) yang akhirnya menjadi nyonya Pras yang kedua. Barulah saya paham kalau kisah yang ingin diusung mbak Asma ini adalah tentang poligami. Oalah.......

Tema yang klise, yang marak terjadi di lingkungan sekitar kita dan tak sedikit yang diusung ke sinetron Indonesia dan film. Kenapa klise? Bagi saya cerita poligami sudah menjadi hal yang biasa sehingga untuk menuliskannya pun pasti sudah tahu pasti bagaimana cerita perempuan yang dipoligami. Istri pertama yang merasa teraniaya, mencoba sabar, ikhlas, suami yang lebih mendahulukan istri kedua, dan kisah senada yang sudah bisa ditebak bagaimana endingnya.

Tapi mengapa saya suka dengan buku Surga yang tak dirindukan ini?
Karena kemasannnya yang beda. Cara bertuturnya yang berkelas dengan alur jungkar balik, maju mundur, kadang flashback, yang tentu membuat saya terkagum-kagum sama mbak Asma. Kenapa dengan alur seperti itu, saya masih bisa menemukan benang merahnya. Bahkan tak terputus. Tersadarlah saya kalau goresan tangan mbak Asma memang tak sekedar acungan jempol. Pantas buat penulis sekaliber beliau.

Nadia, tokoh anak Arini yang ada di dalam novel dijadikan tokoh juga dalam filmnya. Hanya saja di dalam novelnya, Arini mempunyai 3 anak. Sementara di filmnya Arini hanya mempunyai satu orang anak. Nadia. Yang saya yakini pastilah diambil dari nama mbak Asma sendiri. (mungkin pendapat saya salah ya, red).

Peran yang bagus, cerita dengan tema klise yang mampu membuat saya terpana. Saya yakin kuncinya adalah hati. Menulis dengan penuh perasaan dan dedikasi yang tinggi. Yang saya yakini juga ditularkan mbak Asma ke penulis yang lain.

Satu kata buat mbak Asma.
Salut.
Dua kata berikutnya.
Subhanallah.
Mudah-mudahan lahir penulis sekaliber beliau yang bisa dengan indahnya menjungkar balikkan alur, mengemas kisah dengan cara yang apik dan tidak kehilangan benang merah. Subhanallah.
**

Rabu, 16 September 2015

Puncak konflik Kanis-Liam

Kanis tak bisa mempercayai dirinya sendiri yang sedang duduk di dalam mobil bersama Liam. Berkali-kali gadis itu melirik panik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya, lalu ke jalanan dan langit pagi yang biru berawan cirrus. Kanis melirik jam digital di ponselnya dan menghela nafas panjang. Bukan pagi lagi jika angka di sana menunjukkan pukul 10 lewat lima menit. Tapi udara dingin pegunungan di daerah gunung banyak, pujon Malang membuat pagi yang beranjak siang itu nampak sejuk. Liam menangkap ketegangan yang dirasakan Kanis.

"Jangan khawatir, Nisi. Aku nggak bakalan nyulik kamu kok." katanya sambil tersenyum. Kanis balas tersenyum meski dengan keterpaksaan. Bukan karena pikiran buruk Kanis tentang penculikan dirinya oleh Liam, melainkan karena nama Nisi yang diucapkan laki-laki itu untuknya. Panggilan kesayangan Liam untuknya yang sudah lama tak terdengar lagi. Rasanya aneh mendengar nama yang ingin ia buang kembali berdengung di telinganya.

"Bisa manggil aku Kanis saja tidak." protes Kanis canggung.

"Oke, Kanis. Kanisi. Bagaimana? Senang?" katanya sambil melirik sepintas Kanis yang mengangguk pelan. Semenit kemudian keadaan kembali tegang karena baik Liam maupun Kanis sama-sama terdiam. Kanis memilih memperhatikan jalanan berliku khas pegunungan yang mulai menanjak naik. Jalanan aspal semakin menyempit dan berkelok-kelok. Tembok batu di sepanjang kiri jalan dan jurang di sepanjang kanan jalan, menjadikan perjalanan hari itu tak kalah mendebarkan dengan suasana hati Kanis.

Ia tahu kemana sebenarnya Liam akan membawanya. Harusnya ia menanyakannya dulu tadi sekedar untuk memastikan, tapi Kanis memilih diam seakan sudah bisa menebak tempat yang akan mereka tuju. Sikap yang kini disesalinya karena hanya akan memperbesar kepala Liam. Laki-laki itu selalu yakin kalau mereka punya ikatan batin. Kalau Kanis adalah soulmate-nya yang tak terpisahkan bahkan oleh maut. Keyakinan yang membuat Kanis seakan terkekang oleh rantai besi bernama cinta buta. cinta penuh obsesi.

"Terima kasih ya karena akhirnya kamu mau memenuhi keinginanku." katanya memecah keheningan. Kanis meliriknya sekilas lalu buru-buru menunduk. Tak kuasa ia melihat tatapan penuh misteri itu dari mata Liam. Kalau laki-laki itu begitu mencintainya, mengapa ia tak merasakan kedamaian setiap kali bersamanya. Perasaan yang ia rasakan tak pernah berubah dari dulu. Tekanan dan ketakutan. Tapi kadang simpati dan iba. Salahkah ia mengambil keputusan meninggalkannya dulu? Atau haruskah ia bertahan saja dengan gelombang pikiran yang naik turun hanya demi menjaga rasa cintanya.

Tidak tidak. Kanis yakin ia tak pernah salah dengan keputusannya dulu. Tapi mengapa ia sekarang ada bersamanya lagi. Mengapa ia mengiyakan ajakan laki-laki itu untuk kejutan yang disiapkan untuknya. Kanis tak pernah memperkirakan hal ini sebelumnya.

"Kamu sudah makan? Harusnya kita mampir ke tempat makan dulu buat sarapan." katanya penuh sesal.

"Aku sudah makan kok. Terima kasih." jawab Kanis bohong. Perutnya mendadak perih ketika mendengar kata makanan. Tadi pagi ia hanya menyempatkan menyantap donat kentang di atas meja makan yang tak bertuan. Ia bahkan tak sempat minum. Untunglah ia selalu membawa botol aqua di dalam tasnya.

"Kalau begitu nanti siang kita makan bakso di atas sana. Kesukaan kamu dulu. Inget nggak?" Liam mengingatkan memori masa lalu mereka yang luput dari otak Kanis. Tapi demi menjaga perasaan laki-laki itu ia mengangguk saja sambil tersenyum sekedarnya.

"Sebenarnya kita mau kemana?" tanya Kanis akhirnya. Meski ia tahu jawabannya, tapi tak lega rasanya jika tidak bertanya langsung.

"Kamu tahu tempatnya, Kanis. Sebentar lagi kita sampai. Aku harap anggapan kamu tentang aku berubah setelah kita sampai di sana." katanya penuh keyakinan. Tatapan laki-laki itu tetap mengarah ke depan di balik kemudinya, tapi Kanis yakin matanya tak berhenti memandang Kanis. Gadis itu mulai salah tingkah yang hanya ditanggapi dengan senyuman penuh pengertian Liam.

Perjalanan 1 jam itu tak terasa setelah mobil Liam berbelok di pertigaan jalanan beraspal menuju jalan kecil ke arah kanan. Jalannya naik dan seingat Kanis, beberapa tahun yang lalu jalanan itu masih sempit dan belum beraspal seperti sekarang. Sebuah papan nama besar terpasang di ujung pertigaan, menunjukkan nama tempat yang akan mereka tuju. "Paralayang". Kanis menggeleng pelan. Sudah berapa tahun ia tak mengunjungi tempat bersejarah baginya itu. Terakhir kali ia melihat tempat itu adalah di acara salah satu reality show di TV tentang perjalanan anak muda ke tempat-tempat ekstrim. Saat itu, ia melihat tarif paralayang sudah naik dan ada uang masuk menuju ke tempat itu. Sementara dulu, tempat itu masih gratis untuk umum.

"Sudah banyak yang berubah ya." kata Liam seakan menangkap pandangan Kanis. Setelah menempatkan mobilnya di area parkiran yang bertambah luas, mereka turun. Seketika udara pegunungan menyambut mereka dengan hangat. Kanis memejamkan mata sebentar, mencoba merasakan kedamaian yang mendadak singgah di hatinya.

"Wah ada atraksi downhill juga. Beruntung kita ke sini sekarang ya, babe?"

Kanis membuka matanya dan mendapati Liam sudah naik ke undakan di depannya. Beberapa orang membawa sepeda gunung berkumpul di salah satu pojok area bukit. Lengkap dengan pakaian kelompok dan peralatan khas olahraga ektrim itu. Kanis berkerut dahi ketika ingat sapaan Liam padanya beberapa detik yang lalu, tapi ia mengikuti Liam juga ketika tangan laki-laki itu melambai ke arahnya.

Pemandangan bukit hijau membentang di depannya layaknya permadani surgawi. Ketika kaki Kanis melangkah mendekati bibir bukit, nampak sawah berpetak-petak layaknya karpet alam yang tertata rapi tergelar di bawahnya. Sementara jalan raya, gedung, dan rumah-rumah terlihat seperti semut yang merayap mencari makanan. Kecil dan banyak. Sepintas Kanis merasa layaknya raksasa yang berdiri di atas desa dengan ratusan penduduknya.

"Indah ya. Masih sama seperti dulu. Berapa tahun ya?" Liam ikut memandang pemandangan menakjubkan di depannya itu. Diliriknya sekilas Kanis yang mengangguk tanda setuju. Tatapan gadis itu masih sibuk menjelajahi jendela alam di depannya. Regu paralayang rupanya sudah siap di salah satu sisi bukit. Seorang perempuan sedang dipasangkan peralatan paralayang oleh laki-laki yang sepertinya instrukturnya. Liam yang terobsesi ingin mencoba paralayang tapi selalu gagal itu berlari mendekat sambil menyeret tangan Kanis tanpa sadar.

Aw.... Kanis memekik kesakitan ketika pergelangan tangannya dipegang terlalu erat oleh Liam. Tapi suara Kanis terlalu kecil untuk didengarkan Liam.

"Sudah kuduga saat ini adalah saat yang tepat untuk ke sini. Jarang-jarang kita menyaksikan langsung adegan paralayang sekaligus downhill di sini. Bener nggak babe?" katanya sambil menoleh ke Kanis yang menggosok pergelangan tangannya yang sakit. Liam baru sadar dan langsung meraih pergelangan tangan Kanis. "Oh sorry, tadi kekencengan ya nariknya."

"Aku nggak apa-apa, Liam. dan bisa tidak manggil aku Kanis saja. Jangan babe."  Liam berhenti menarik tangan Kanis, tapi kemudian memegangnya lagi. Kali ini justru kedua tangannya yang berhasil diraih. Tanpa segan-segan, laki-laki itu justru mengecupnya lembut di depan banyak orang. Perempuan yang sudah siap terbang dengan parasut paralayang itu melihat apa yang dilakukan Liam dan dia tersenyum senang. Matanya bahkan sempat bertemu dengan mata Kanis dan perempuan itu mengedip seakan memberi dukungan. Kanis yang belum siap dengan apa yang dilakukan Liam buru-buru menarik tangannya dan menjauh.

"Apa-apaan kamu, Liam. Kamu sudah janji."

"Untuk kali saja boleh ya. Lagipula kamu sudah bersedia untuk satu hari bersamaku kan. Cuma satu hari, Kanis. Setelah itu terserah kamu."

"Tapi....."

"Kanis, kenapa sih kamu suka banget aku memohon. Apa lagi yang harus aku lakukan biar kamu ngerti perasaanku."

Mulai lagi deh. batin Kanis. Jadi Kanis memilih untuk mengangguk saja dan membiarkan Liam membawanya ke ujung bukit yang lain. Dimana sebuah pohon tumbuh di ujung bukit mengarah ke bawah jurang. Posisi pohon itu sedikit miring sehingga Kanis membayangkan akan terjatuh ke jurang jika ia naik ke batangnya.

Liam tidak berjalan ke pohon itu, melainkan duduk bersila di rumput yang menyebar di sekitar kaki pohon. Posisi Liam juga tidak berada di tanah yang sejajar dengan pohon, melainkan di tanah yang sedikit menjorok ke jurang. Kanis menegurnya, tapi Liam hanya memandangnya lalu menyuruhnya duduk di sebelahnya. Kanis memberanikan diri mendekat.

"Kamu ngapain duduk di sini, Liam. Nanti jatuh. Ke atas yuk..."

"Di sini saja. Aku ingin ngobrol dengan kamu di sini saja. Jangan menolakku terus. Please..." katanya mengiba. Kanis geleng-geleng kepala menanggapi sikap Liam yang sepertinya memanfaatkan sikap lunak Kanis. Tapi dia menurutinya juga. Hening beberapa saat ketika mata keduanya menikmati aksi parasut paralayang yang terbang melayang di kaki bukit. Perempuan yang tadi mengedipkan mata ke Kanis pun sudah terjun. Kanis mengenali parasutnya yang berwarna merah magenta. Dalam hati, Kanis membatin apa perempuan itu memperhatikan mereka yang duduk di tepi bukti ini ya.

Liam tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Tapi tatapannya masih mengarah ke parasut-parasut yang melayang itu. Kanis bertanya heran.

"Kamu kenapa, Liam? Apa ada yang lucu?"

"Nasibku yang lucu, Kanis. Kamu berhasil mempermainkan nasibku. Aku selalu kagum dengan kehebatanmu yang satu itu." Kanis merasa tertuduh. Tak terima.

"Apa maksudmu?" Kanis memandang Liam yang masih tak bergeming dengan pemandangan di depan mereka. Kanis ingin sekali Liam menatapnya saat itu dan memberikan penjelasan lewat matanya. Tapi laki-laki itu tak menoleh ke arahnya.

"Biasanya perempuan yang terlihat rapuh ketika putus cinta, sementara laki-laki tetap terlihat tegar. tapi rupanya itu tak berlaku buatku. Kanisi Megalian Cubri yang benar-benar membuatku terpuruk sampai hidupku terasa tak berarti lagi."

"Liam...."

"Aku nggak nyalahin kamu, Kanis. Maaf. Aku cuma mengasihi diriku sendiri yang terlalu mencintaimu. Meskipun aku tahu kamu nggak cinta aku lagi. Mungkin dari dulu kamu memang tak pernah mencintaiku. cintaku bertepuk sebelah tangan tanpa aku sadari."

Kanis menunduk. Dalam hati ia membenarkan perkataan Liam, tapi ia tak ingin mengakuinya. Setidaknya untuk saat ini. Pandangan Liam beralih padanya ketika tak ada jawaban dari Kanis. Laki-laki itu tersenyum miris sambil membuang muka lagi.

"Diam berarti iya. itu kan ciri khasmu. Aku nggak nyangka, Kanis."

"Liam..... aku...." Kanis tak tahu harus mengatakan apa untuk menghangatkan suasana lagi. Ia berusaha menemukan kalimat yang pantas, tapi tak menemukannya juga. Helaan nafas panjang terdengar dari tubuh Liam. Laki-laki itu mendadak saja berdiri dan menyodorkan tangannya untuk dipegang Kanis.

"Lupakan soal cinta yang bertepuk sebelah tangan. Hari ini aku ingin melihat senyum di wajahmu. Setidaknya untuk aku jadikan kenang-kenangan. Ayo..." Kanis tak segera meraih tangan Liam. Tapi dia berdiri juga. Liam nampak kecewa, tapi dipaksanya tersenyum.

"Seperti janji kamu di awal. Tak boleh bertanya dan ikuti semua petunjukku. cuma satu hari ini saja, Kanis."

"Oke..." Kanis lega sekaligus jengkel mendengar Liam menagih janjinya terus. Laki-laki itu tersenyum dan menawarkan untuk menggandeng tangan Kanis. Wajahnya dibuat mimik memelas sehingga Kanis mengiyakan saja. Berdua mereka berjalan menyusuri bukit paralayang yang mulai ramai pengunjung.

**



Senin, 14 September 2015

Cermin retak (Cerber)

Kokok ayam jantan berkumandang dengan merdu sementara suara adzan baru saja usai memecah keheningan pagi yang masih buta. Aktivitas warga belum terlihat di jalanan kampung yang berada di perkotaan itu. Hanya satu dua langkah yang terdengar berkejaran bersama angin. Sementara dari sebuah rumah yang tak begitu luas di salah satu ujung gang, terdengar langkah berat seseorang dari dalam rumah yang masih tertutup rapat itu. Sebuah lampu sudah menyala di area dapur, bersamaan dengan suara benda-benda dipindahkan, diangkat, disikat, diguyur air dan akhirnya pompa PDAM yang dinyalakan nyaring. Kehebohan itu ternyata dinikmati oleh seorang perempuan paruh baya yang tak lagi bisa berjalan tegak. Butuh beberapa menit baginya untuk bangkit dari jongkok dan tangan yang tak lupa menggapai tembok. Wajah letihnya yang diliputi kerutan di mana-mana tak menunjukkan protes. Bahkan ketika seorang anak perempuannya muncul di dapur dengan rambut awut-awutan.

"Belum selesai juga bersihin kamar mandinya? Aku ada kuliah pagi bu. Bisa terlambat aku kalau jam segini belum mandi juga." Katanya acuh. Tak dihiraukannya peluh di kening ibunya yang mengalir deras. Perempuan paruh baya itu hanya tersenyum menanggapi sikap anaknya.

"Sabar Ana. Kamar mandinya sudah bersih, tinggal diisi air. Sebentar lagi airnya juga sudah penuh." Ana melirik sepintas air di bak mandi yang mengucur deras dari selang yang disambungkan dari pompa PDAM. Gadis itu mengangguk pelan lalu melangkah masuk ke kamar mandi tanpa berkomentar apapun. Sementara perempuan paruh baya itu segera berpaling ke arah kompor dan menyiapkan penggorengan. Gerakannya masih cekatan meskipun langkahnya tak secepat gerakan tangannya. Dalam hitungan detik saja, perempuan paruh baya itu sudah mengeluarkan nasi dari dalam magic com ke dalam dua piring dan menuang minyak goreng ke dalam penggorengan. Gerakan tangannya berhenti mendadak ketika sebuah suara bariton mengagetkannya.

"Ibu bikin sarapan lagi? Biarin kak Ana sendiri yang bikin bu? Kenapa selalu ibu yang repot?"
Dama, si bungsu sekaligus anak laki-laki satu-satunya memandang tegang ibunya yang siap-siap menggerus bumbu. Matanya yang dipaksa terbuka memperlihatkan sikap protes akan apa yang dilakukan ibunya.

"Ibu nggak repot, Dama. Ibu nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa bagaimana? Ibu itu punya anak perempuan, tapi kenapa selalu ibu yang melakukan pekerjaan rumah. Seperti nggak punya anak perempuan saja. Lihat kaki ibu, sampai nggak  bisa jalan begitu."

"Sudahlah Dama. jangan ganggu kakak-kakakmu. Ibu nggak mau ada pertengkaran lagi."

"Tapi bu....."

"Ada apa sih pagi-pagi sudah berisik." Gadis lain muncul dengan tangan menutup mulutnya yang menguap. Sepintas terlihat gadis berkulit putih bersih itu sudah mandi dan bersih badan. Padahal gadis cantik itu baru bangun dari tidur. Rambutnya yang dicat kecoklatan tergerai lurus meski sedikit acak-acakan. Dama menyindirnya tanpa ampun.

"Ini lagi si ratu jagat raya. Bisanya dandan melulu, bersih-bersih rumah kek. Jangan bangun tidur maunya beres terus."

"Dama, jangan ngomong begitu sama kakakmu. Sarapan Titian?" Perempuan paruh baya itu melempar senyum tulusnya ke anaknya yang lain. Titian tak langsung menjawab. Matanya mengawasi dapur sepintas, lalu ke cucian piring yang sudah bersih dan berakhir ke tangan ibunya yang sibuk menggerus bumbu. Gadis itu menepuk jidatnya pelan, lalu menghampiri ibunya.

"Biar aku yang masak bu. Ibu duduk manis saja dan mandi. eh.... " Titian mengacungkan jarinya ketika ibunya hendak mengatakan sesuatu. Lalu melanjutkan bicara. "Aku tahu ibu sudah mandi sebelum jam tiga pagi, sholat tajahud, ngaji sampai subuh, bersihin kamar mandi, nyuci piring, nyapu, ngepel dan lain-lain yang seharusnya ibu serahin ke kami. Jadi jagoan ibu ini nggak asal main tuduh." Titian melirik Dama dengan sinis. Lalu kembali memperhatikan ibunya yang bermandikan keringat.

"Lihat keringat ibu, jadi seperti belum mandi kan. Turutin kata-kataku dong bu. Sikap ibu yang suka mengerjakan pekerjaan rumah tanpa menyuruh anak ibu bikin kami sering salah paham."

"Ya ya ya.... ibu tahu. Ibu salah lagi ya. Ibu minta maaf." Perempuan paruh baya itu berpaling pergi. Tangannya yang menggapai tembok diraih Dama. Lalu menuntunnya berjalan. Dama melotot ke kakaknya dengan tajam.

"Jangan salahin ibu terus dong kak. Kenapa sih bikin ibu nangis terus."

"Tuh kan. Mulai lagi deh." Titian menghela nafas panjang melihat sikap adiknya. Maksud hati ingin menjadi penengah, kini ia merasa menjadi sumber masalah yang selalu rumit.

**


Jumat, 28 Agustus 2015

Liam

Laki-laki itu membuka pintu kamar dengan paksa. jaket kulit yang melekat di badannya ditarik dan dilemparkannya sembarangan ke lantai marmer. Begitu juga dengan tubuhnya yang dibanting di atas kasurnya yang empuk dengan kepala menengadah ke langit-langit kamar. Wajahnya nampak letih, keringat merembes di pipi kiri dan kanan wajahnya yang ditumbuhi beberapa jerawat. Sementara alisnya yang tebal hampir terlihat menyatu sehingga membentuk tiga lekukan di tengah. Otot-otot wajahnya menegang, begitu pula otot tangannya yang mengepal kuat. Dengan hentakan keras ke kasurnya, ia duduk.

"Bukan aku yang jahat, Kanis. Tapi kamu. Kamu yang sudah bikin aku jadi gila begini." Laki-laki itu mengambil segelas air minum di meja dekat ranjangnya, meminumnya hingga habis dan membantingnya ke tembok sampai pecah berkeping-keping. Sebuah langkah berat terdengar mendekati kamar dengan terburu-buru.

"Ya ampun, Liam. udah balik dari Malang lo. Kok nggak bilang, gue kan bisa jemput." Laki-laki yang sepertinya teman kost Liam itu terlihat kaget. Matanya terlambat menyadari kondisi kamar yang berantakan ditambah pecahan gelas di lantai. Liam tak peduli.

"Kenapa sih lo? dateng-dateng ngamuk. Berantem sama cewek lo? Siapa namanya? Kanisi?" Tanyanya menebak.

"Berisik! Pergi sono!!" usir Liam gelap mata.

"Oh jadi gue diusir? Setelah gue lakuin mau lo, gue dibuang! Nggak tau apa orang lagi khawatir! Pergi ke Malang nggak bilang, pulangnya nongol gitu aja! Udah kayak jelangkung lo!"

Liam tak berkomentar. Matanya berusaha menghindari tatapan tanya temannya dengan berjalan mondar-mandir. Tangannya masih terkepal kuat menahan marah.

"Adik gue baru aja pulang ke Jakarta. Dia pengen ketemu sama lo, terus nitipin mendoan buat lo. Tau nggak, dia bikin sendiri kemaren buat lo. Tapi lo-nya nggak ada. Kalo lo emang nggak suka, seenggaknya jangan suka bikin kecewa orang dong." Laki-laki itu meletakkan mangkok berisi tempe mendoan ke atas meja begitu saja. Tatapannya masih mengarah kecewa ke Liam.

"Gue heran sama lo! Sebenarnya ngapain sih lo ngambil S-2 di ITS kalau lo jarang masuk kuliah. Terus bolak balik Malang-Surabaya dengan alasan nggak jelas. Merjuangin cinta lo? cinta yang mana? Gue liat cuman lo yang ngebet sama si Kanisi ini."

"Bisa diem nggak sih kamu!!"

"Diem? Selama ini gue diem, Liam! Lo nyuruh gue ngabsen bodong tiap kuliah, gue okein. Lo nyuruh gue bohong ke ibu kost soal kabur-kaburan lo ke Malang, gue iyain. Lo minta ditemenin kemana aja gue turutin. Gue sampe dianggep kacung lo, gue terima. Semua itu gue lakuin karena gue care sama lo. Prihatin sama lo!"

"Jadi kamu nyesel? Kalau nggak ikhlas bantu nggak apa-apa kok. Jangan jadi kayak cewek."

"Lo yang kayak cewek. Sekarang gue beneran capek hadepin lo. Nggak pernah ngaku salah, egois. Nyesel gue ngenalin lo sama adik gue. Tau nggak, setelah lo ngajakin dia ke Malang dia jadi berharap sama lo. Dan sekarang lo nggak peduli sama dia."

Liam menoleh ke temannya akhirnya. Tatapannya makin tajam mengarah ke bola mata temannya itu. Telunjuknya mengarah ke dada laki-laki di depannya.

"Gue-nggak-pernah-ada-hati-sama-adik-lo! Talia sendiri yang deketin gue, jadi lo-nggak-bisa-asal-nyalahin-gue, Dane! kata Liam dengan logat Jakarta yang tak kental. Tiap katanya mengandung penekanan yang berarti.  Dane kecewa. Wajahnya mendadak menegang dan detik berikutnya kepala Liam sudah menghantam tembok. Dogem berikutnya mengarah ke pipi kiri, lalu ke dada, ke wajah lagi. Darah merembes dari bibirnya yang pecah.

"Brengsek lo Liam! Nyesel gue temenan sama lo selama ini! Asal lo tau ya, gue mau bantuin lo karena gue pikir lo laki-laki dewasa yang bisa ngatasi masalah percintaan lo. Ternyata lo nggak lebih dari banci! Pantes Kanisi ninggalin lo. Cowok kayak lo nggak pantes dicintai!

Bukkk.... Bukkk....
Dane mengepalkan tangannya ke perut Liam. Tapi Liam tak membalasnya. Bahkan setelah beberapa bogem menghantam bagian tubuhnya yang lain. Dane berhenti melihat sikap pasrah Liam. Tubuhnya yang bermandikan keringat merosot ke lantai bersamaan dengan Liam yang bermandikan darah. Liam nyengir kuda sambil menghapus darah yang keluar dari sudut bibirnya.

"Kalau belum puas, kamu masih bisa mukulin aku lagi." kata Liam pasrah. Dane tertawa garing sambil berusaha berdiri.

"Lo pernah bilang kalau anak Jakarta itu kebanyakan brengsek. Sekarang lo buktiin ke gue kalau lo-arek suroboyo yang kata lo besar di Malang ternyata lebih brengsek dari anak Jakarta. Gue-lahir di Jakarta tapi gue nggak pernah sebrengsek lo yang ngejar cinta palsu dan ngasih cinta palsu ke cewek lain." Liam tersenyum mendengar cacian Dane. Tapi tak berusaha membalas omongannya. Karena dalam hatinya, ia membenarkan juga anggapan temannya itu.

"Kita selesai di sini. Gue nggak mau temenan sama orang yang sukuisme kayak lo. Disertasi lo diterima, mulai sekarang urus semuanya sendiri. Gue bukan kacung lo lagi." Dane meludah ke samping lalu berbalik keluar kamar. Liam memandanginya sampai benar-benar menghilang dari pintu kamarnya yang dibanting keras oleh Dane. Tawa garingnya melengking nyaring. Kata-kata Dane berlarian di kepalanya yang masih dipenuhi amarah. Jika dia orang yang brengsek, berarti tak ada harapan lagi baginya untuk mendapatkan kembali hati Kanisi.

"Brengsek kamu, Liam. Benar-benar brengsek." ulangnya berkali-kali sambil meninju lantai yang basah oleh darahnya. Di kepalanya terbayang wajah Kanisi yang mengatakan hal serupa padanya. Dari luar kamar, Dane mendengar tawa Liam yang seperti orang gila.

**


Rabu, 26 Agustus 2015

Kanis setelah dari rumah sakit

Perempuan paruh baya yang masih terlihat seperti remaja itu nampak panik melihat putri sulungnya dibopong masuk ke dalam rumah. Suaminya belum pulang sehingga kekhawatirannya tak begitu memadat. Tak bisa dibayangkan jika suaminya marah melihat anak sulung mereka lemah dan pucat. Sementara keadaan rumah sudah seperti habis dirampok. Siapa lagi yang akan dipersalahkannya nanti.

"Izza, kasih tau papa kalau kakakmu sudah pulang. Bilang jangan ngebut. Mama mau ngurus kakakmu dulu." kata perempuan itu ke anak bungsunya. Tanpa banyak komentar, Izza yang tadinya ikut berdiri menyambut kedatangan Kanis langsung mengambil hpnya di atas meja. Lalu memainkan jemarinya ke keypad hp dengan lincah. Setelah selesai, ia langsung menghambur ke dapur. Matanya sempat menatap laki-laki yang memapah kakaknya yang kini didudukkan di sofa. Tapi laki-laki itu sama sekali tak melihatnya, jadi ia kabur begitu saja. Sedikit jengkel.

"Aku nggak apa-apa ma. Jangan berlebihan begini. Aku nggak mau bikin semua orang repot." Kanis berusaha menenangkan mamanya yang menempelkan tangannya ke dahi, pipi, leher, tangan, kaki dan hampir seluruh tubuh Kanis.

"Ngomong apa kamu! Sejak lahir kamu sudah bikin mama repot. Kamu ngapain aja sampai sakit begini?" Ivy menoleh ke Izza yang muncul lagi sambil membawa segelas air putih. Diambilnya air putih itu dan disodorkannya ke Kanis.

"Minum sampai habis. Setelah itu makan, mama sudah masakin jamur kesukaan kamu."

"Aku nggak mau makan ma. Pengen tidur aja." protes Kanis. Mamanya memperhatikan wajah putri sulungnya yang memang nampak letih dan pucat. Tak tega untuk memaksanya, sehingga dia pun mengangguk pasrah.

"Ya sudah kamu tiduran dulu saja. Tapi setelah bangun harus langsung makan ya. Kalau nggak mau, paksa aja ya Nay.... eh Naya nggak keberatan kan?"

"Santai aja tante.... saya akan jagain Kanis sampai sembuh total. Salah saya juga sampai Kanis seperti ini. Saya tanggung jawab kok tante."

"Loh bukan begitu. Tante nggak nyalahin Naya kok....."

"Oh nggak apa-apa kok tante.... nggak disalahin juga saya merasa bersalah. Kan Kanis dititipin sama saya. Tapi saya nggak bisa jagain sampai dia sakit begini."

"Kalian ini! Aku bukan anak kecil. Ngapain ngeributin jagain aku segala!!" Protes Kanis. Diperlakukan seperti anak kecil ditambah perlakuan istimewa layaknya putri kerajaan sangatlah membosankan. Ia tak pernah suka diperlakukan seperti itu. Toh nyatanya ia bukan siapa-siapa dan tak pernah menjadi siapa-siapa. Membuat repot banyak orang dengan kondisinya yang biasa itu saja sudah bikin ia makin tak enak. Apalagi dengan perlakuan lebih.

"Kanis, kenapa kamu ngomong begitu. Semua orang khawatir sama kamu." Tefan yang bicara. Kanis sampai hampir lupa kalau ada Tefan di sebelahnya. Sepintas yang lalu ia masih mengira Nayalah yang memapahnya sampai masuk ke dalam rumah. Tapi Naya berdiri di dekat mamanya dan Izza. Sementara Tefan duduk di sebelahnya dengan tatapan penuh rasa simpati. Kanis benci tatapan seperti itu. Ia tak suka dikasihani. Tanpa diduga, Kanis berdiri dan pergi menuju kamarnya.

"Kanis! Kanis....." Mamanya memanggil dengan sedikit berteriak. Tapi Kanis tak menoleh sedikitpun.

"Biar saya temenin Kanis, tante." kata Naya lalu menyusul sahabatnya itu naik ke lantai dua. Tempat kamar Kanis berada. Tefan nampak ingin bicara, tapi melihat kepanikan yang masih melekat di wajah orang tua Kanis, ia memutuskan untuk diam saja. Saat ia melihat Izza, gadis kecil itu tertangkap basah sedang memperhatikannya dengan senyum kecil. Lalu buru-buru menunduk dan bersembunyi di balik punggung mamanya.

"Nak Tefan, maaf ya. Apa bener nak Tefan nggak tahu apa yang terjadi sama Kanis?!" Ivy bertanya penasaran.

"Saya nggak tahu apa-apa, tante. Kemaren Kanis sama Naya terus. Mungkin Naya yang lebih tahu. Saya tahunya Kanis di rumah sakit juga dari Naya." jawab Tefan jujur.

"Tapi Naya bilang nggak tahu. Tante harus nanya ke siapa dong. Kalau papanya nanya nanti, tante harus jawab apa?!"

"Saran saya, lebih baik nunggu sampai semuanya kembali stabil lagi tante. Biarin Kanis tenang dulu. Apalagi ada Naya. Mereka kan saling terbuka selama ini." Tefan berusaha menenangkan. Padahal jauh di hatinya, ia juga sama gusarnya dengan perempuan di depannya itu. Mungkin lebih gusar lagi karena ia benar-benar ingin tahu apa yang terjadi antara Kanis dengan Liam. Setidaknya itu kabar terakhir yang dia dapat dari Naya. Bahwa Kanis pergi berdua dengan Liam entah kemana. Hati kecilnya memendam amarah ke laki-laki yang katanya 'x'nya Kanis itu. Kalau terjadi apa-apa dengan Kanis, ia tak segan-segan untuk bikin perhitungan dengannya.

"Mana Kanis? Apa dia baik-baik saja?!" Om Bram sudah muncul. Kancing kemejanya di bagian atas sudah terbuka tak beraturan. Kepanikan jelas terlihat di wajahnya yang sangar.

"Tenang pa. Kanis sudah di kamarnya sama Naya. Semuanya baik-baik saja." tante Ivy menenangkan suaminya dengan mengelus dadanya yang naik turun. laki-laki itu tak begitu saja tenang tapi dia duduk juga di sofa. Setelah melihat Tefan, barulah nafasnya yang naik turun tadi terlihat kembali normal.

"Setiap kali ada masalah dengan Kanis, selalu ada kamu yang menyelesaikan. Terima kasih ya Tefan." katanya senang.

"Saya nggak berjasa apa-apa om. Naya yang....."

"Ya ya ya.... Naya dan kamu adalah orang terdekat Kanis saat ini. Saya tenang jika ada kalian berdua. Saya juga berterima kasih ke Naya. Kamu mau kan jagain Kanis buat om?!"

"Maksudnya om?!"

"Kamu tahu maksud om." Laki-laki itu beralih memandang istrinya. "Sudah disiapin makan siangnya ma? kita makan bareng habis ini."

"Sudah pa... tapi Kanis...."

"Nanti.... biar papa sendiri yang ngajak Kanis makan nanti. sekarang yang penting kita makan bareng Tefan. Nggak keberatan kan, Tefan?" katanya sambil menoleh ke Tefan. Sebenarnya Tefan mau menolak karena ia harus kembali ke kantornya, tapi melihat kesungguhan laki-laki di depannya itu, akhirnya Tefan pun mengangguk.

"Ayo mas Tefan....." Izza-lah yang menuntunnya ke meja makan pada akhirnya. Diantara semua yang ada di rumah itu, hanya Izza yang nampak tak begitu panik. Wajah polosnya menunjukkan anak sekolahan yang belum mengerti urusan orang dewasa. Tefan tak ingin menghilangkan kegembiraan dalam kepolosan gadis kecil itu, maka ia pun berusaha menebar senyuman dan bersikap senormal mungkin. Tak ada yang tahu kalau pikirannya masih berkutat di ruang kamar di atasnya. Dimana Kanis dan Naya ada di dalamnya.

**

"Aku pengen sendiri, Nay. Jangan paksa aku buat teriak!" Kanis jengkel juga melihat Naya yang membuntutinya terus-terusan. Ikut duduk di kasur, berdiri di dekat lemari pakaian, duduk di dekat komputer bahkan ikut selonjoran di lantai kamarnya yang berkarpet abstrak.

"Teriak aja. Toh dari tadi aku diem kan. Aku cuman nungguin kamu sampai buka mulut."

"Terus mau kamu apa?!"

"Beneran marah nih. Oke... aku cuman mau bilang kalau papa mamamu sampai batalin liburannya demi ngeliat anaknya yang sendirian di rumah. Oh aku nggak ngadu." katanya buru-buru melihat mata Kanis yang mendadak melotot padanya. "Mereka pulang dengan sendirinya karena nggak tega. Malahan mereka mau ngasih kejutan dengan mau ngajakin kamu ke lombok. Terapi pantai kata mamamu. Biar kamu tahu kalau pantai itu indah banget. Jadi nggak langit malam yang indah."

Kanis berhenti melotot. Wajah tegangnya berubah bingung mendengar penjelasan Naya. Langit malam, pantai. Sudah berapa banyak rahasianya yang dibongkar Naya di depan mamanya sendiri. Naya sepertinya tahu gelagat amarah Kanis, sehingga ia buru-buru mengubah kata-katanya.

"Maksudku apa kamu nggak kasihan sama mereka. Mereka sudah berusaha bikin kamu seneng, tapi kamu malah kayak nggak peduli. Bela-belain ketemu Liam, tapi ujungnya kamu nangis sampai sakit begini. Wajar kalau mereka khawatir."

"Terus aku harus gimana? Maksa pergi ke tempat yang aku nggak suka cuman demi nyenengin orang lain? Terus salah kalau aku milih mau nyelesain masalahku yang sudah jadi kerak di batinku. Aku bosen dikejar terus sama Liam. Aku jadi kayak buronan. Aku mau nendang dia jauh dari hidupku. Tapi dia nggak mau pergi. Malah ngancem....." Kanis menghentikan celotehnya. Tapi terlambat untuk membuat Naya tak mendengarkan.

"Jadi kalian bertengkar hebat. Liam ngancem apa?!" tanya Naya penasaran.

"Bukan apa-apa. Tinggalin aku sendiri, Nay.... please!!" Kanis memohon dengan air mata yang mau tumpah. tangannya memohon ke depan dada dengan kelelahan batin yang dirasakannya. Naya mengerti. Ia paham apa yang terjadi dengan Kanis dan Liam tanpa mendengar kelanjutan cerita Kanis. Raut wajahnya berubah tegang dan pucat. Sesuatu yang membara sedang membakar batinnya. Langkahnya pun terdengar berat ketika akhirnya ia keluar dari kamar Kanis. Meninggalkan sahabatnya yang menangis di atas ranjang dengan berpelukan pada guling mini mousenya.

Suara Izza menghentikan langkahnya sejenak di anak tangga. Gadis kecil itu memanggilnya untuk bergabung dengan anggota keluarga yang lain makan siang. Tefan masih duduk di sana menyantap hidangan di piringnya. Mata mereka bertemu, tapi gelengan kepala yang diberikan Naya. Naya tahu arti tatapan mata Tefan. Laki-laki itu pastilah ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Kanis seperti yang lain. Tapi saat ini ia tak ingin memberitahu siapapun. Naya hanya memberikan senyuman sekedarnya ke mereka, lalu berpamitan pulang.

Air matanya meleleh begitu kakinya beranjak keluar pintu rumah Kanis. Ia seperti bisa menebak apa yang dilakukan Liam terhadap Kanis. Sesuatu yang selalu dibayangkannya selama ini dan dia tak pernah berharap endingnya akan seperti ketakutannya. Panas matahari begitu menyengat di siang itu. Sepanas hati Naya yang dipenuhi amarah dan dengki. Tangannya menyetop taksi kosong dengan asal. Bersama deru mobil, ia berusaha menghempaskan bebannya di jalanan. Kini ia bisa merasakan tangisan pilu Kanis semalam.

**

Kanis setelah menangis semalam

Kanis tak menyangka jika Naya masih berada di dekatnya hingga subuh. Ia bahkan tak berusaha menyingkirkan kepala Kanis dari pangkuannya. Ketika mata Kanis akhirnya terbuka oleh silau mentari yang menyemburat lewat gorden kamarnya, Kanis langsung terduduk dan mengangkat kepalanya dari pangkuan Naya. Gadis manis berkulit sawo matang itu masih tertidur dengan bersandar di pinggiran ranjangnya. Kakinya pastilah kesemutan menahan kepala Kanis semalaman suntuk. Kanis terharu, perlahan dipeluknya sahabatnya itu tanpa bermaksud membangunkannya. Tapi terlambat, sentuhan tangan Kanis membuat kelopak mata Naya bergerak lalu membuka dengan perlahan. Dengan kepanikan yang sama seperti semalam, ia bergerak memegangi tangan Kanis.

"Kanis, kamu nggak apa-apa?! ya ampun... kamu panas." tangan Naya sudah berpindah ke dahi Kanis dengan sendirinya. Kanis ikut memegangi dahinya yang terasa hangat. Tapi ekspresi wajahnya terlihat datar.

"Makasih ya Nay, mau nemenin aku semalaman. Kamu pasti capek."

"Ngapain mikirin aku. Kamu yang perlu dipikirin. Memangnya Liam ngapain kamu sampai kamu nangis begitu. Liat nih, sekarang kamu sakit."

"Jangan dibahas dulu ya. Aku ...."

"Oke, nggak sekarang tapi nanti kamu harus cerita. Sekarang kita ke dokter. Aku nggak mau disalahin papa mamamu karena ninggalin anaknya sampai sakit begini."

"Loh, mereka sudah pulang?" Kanis merasa gugup. Kalau orang tuanya sudah pulang dari berlibur, berarti mereka tahu tentang keadaannya semalam. Dan itu artinya....

"Santai saja, mereka masih di Bali sama Izza. Kalau tahu kamu bakalan dibikin nangis begitu sama Liam, mending kamu ikutan keluargamu liburan ke Bali. Seneng-seneng di sanur, kute."

"Aku nggak suka pantai. kamu sudah tahu itu kan."

"Oke.... no comment. Tapi sekarang nggak boleh nolak ke dokter. Ayo..."

Naya membantu Kanis berdiri, tapi keduanya malah jatuh ke tempat tidur. Kanis tertawa, tapi tak berapa lama karena Naya mencubitnya cukup keras di lengan. Bukan lelucon. sindirnya. Lalu dengan tenaga yang dipunyanya, gadis manis itu memapah Kanis keluar kamar. wajah Kanis yang semakin pucat membuat Naya makin khawatir. Di depan pintu kamar, ia menelpon taksi. lalu berhati-hati menuruni tangga. Tak dihiraukannya Kanis yang berusaha berjalan sendiri.

**

Tefan sedikit berlari menuju ruang rawat melati di lantai dua rumah sakit. Sms dari Naya membuat kekhawatirannya semakin menjadi hingga ia beberapa kali hampir menabrak perawat yang lewat. Nafasnya yang menderu kencang akhirnya perlahan tenang setelah melihat Naya berdiri di depan pintu kamar rawat bersama seorang dokter. Ia pun menghampiri mereka.

"Gimana Kanis?! Apa ada yang serius?!" tanya Tefan memburu. Naya yang kaget dengan kemunculan laki-laki yang memang sedang ditunggunya itu berusaha menenangkan. Namun dokterlah yang menjawab Tefan.

"Mbak Kanis hanya kecapekan, sebentar lagi juga boleh pulang. Sarankan untuk istirahat ya. Jangan terlalu banyak mikir."

"Makasih dok." Naya yang menjawab. Dokter itu pun tersenyum dan berlalu dengan tenang. Tefan ikut lega mendengarnya lalu bergegas masuk ke ruang rawat.

Kanis tiduran setengah duduk di atas ranjangnya. Wajah pucatnya memandang Tefan dengan gusar. Ia enggan ditanya soal kejadian kemaren. Malu bercampur marah jika Tefan mendengarnya. Beruntung hanya Naya yang melihat tangisannya yang seperti bayi semalam.

"Jangan bicara dulu. Aku ada di sini kok. Habis ini kamu pulang, aku akan ikut jagain sampai kamu beneran sehat lagi." kata Tefan menenangkan. Ia bisa melihat kelegaan yang sama di mata Kanis. Seperti dugaannya, gadis berkulit putih bersih itu masih tak ingin membuka cerita tentang Liam. Sosok yang membuatnya merasa tersaingi. Tefan mengerti. Berusaha mengerti untuk tak membuka cerita di saat kondisi Kanis selemah ini. Ia tahu, gadisnya itu bukan sakit fisik. Tapi batin. Di dasar hatinya, ia berharap bisa menambal luka batin Kanis meskipun hanya sedikit.



Selasa, 25 Agustus 2015

Kanis

Kanis tak memahami mengapa begitu sulit melupakan masa lalu. Semakin ia berusaha untuk melupakannya semakin perih rasa di hatinya. Air matanya bahkan terus menerus tumpah seakan tiada akhir. Ingin sekali ia berteriak sekencang-kencangnya, namun hanya suara hatinya yang memberontak sementara tak ada suara apapun yang mampu keluar dari pita suaranya.

"Kamu nggak akan bisa ngelupain aku, Kanis. Aku jamin itu karena aku adalah masa lalumu, masa kinimu dan masa depanmu!" Suara Liam yang menjatuhkan vonis kepadanya terngiang-ngiang di telinganya. tanpa suara tapi terus bersemilir layaknya angin sepoi yang tenang namun tajam menusuk. Kenapa laki-laki itu tak mau pergi darinya. berapa jauhnya dia berusaha lari darinya, laki-laki itu tetap akan menemukannya. kemana lagi dia harus sembunyi?

"Kanis, ya ampun. kamu kenapa?!" Naya menemukannya akhirnya. tapi terlambat untuk menyembunyikan air mata yang sudah berhasil membuat matanya bengkak dan sembab. Tanpa berusaha menutupinya lagi, Kanis memeluk Naya dengan erat. air matanya kembali tumpah. Kali ini ia tumpahkan sekalian sejadi-jadinya. Naya urung mengajukan pertanyaan melihat kondisi sahabatnya yang nampak rapuh. Dengan lembut, ia usap punggung Kanis sambil menepuknya perlahan. Berharap usahanya itu mampu menenangkan guncahan hati yang dirasakan Kanis.

"keluarkan semuanya, Kanis. Biar lega. Aku di sini, jangan khawatir. Setelah tenang baru kamu cerita." kata Naya menenangkan. Kanis mempererat pelukannya bersamaan dengan air matanya yang semakin menjadi. seperti kata Naya, keluarkan semuanya. Maka ia berusaha mengeluarkan segala perih di hatinya lewat air matanya. Tanpa kata-kata. hanya tangisan yang terdengar pilu di telinganya sendiri. Bukan saatnya untuk mengasihi diri sendiri. Kanis merasa beban itu harus benar-benar ia keluarkan dari tubuhnya, dari jiwanya yang seakan terjebak masa lalu. Naya menemaninya dengan sabar tanpa mengajukan pertanyaan. Hanya pelukan tanda pengertian. Kanis bersyukur Naya datang. Kanis beruntung ada Naya di saat yang ia butuhkan. Entah sudah berapa detik yang berganti menit dan jam yang ia lewati bersama tangisannya. Saat beban itu perlahan keluar dari tubuhnya, ia merasa lelah. tenaga dan batinnya terkuras dan tanpa sadar matanya terpejam dalam pangkuan Naya.