Senin, 14 September 2015

Cermin retak (Cerber)

Kokok ayam jantan berkumandang dengan merdu sementara suara adzan baru saja usai memecah keheningan pagi yang masih buta. Aktivitas warga belum terlihat di jalanan kampung yang berada di perkotaan itu. Hanya satu dua langkah yang terdengar berkejaran bersama angin. Sementara dari sebuah rumah yang tak begitu luas di salah satu ujung gang, terdengar langkah berat seseorang dari dalam rumah yang masih tertutup rapat itu. Sebuah lampu sudah menyala di area dapur, bersamaan dengan suara benda-benda dipindahkan, diangkat, disikat, diguyur air dan akhirnya pompa PDAM yang dinyalakan nyaring. Kehebohan itu ternyata dinikmati oleh seorang perempuan paruh baya yang tak lagi bisa berjalan tegak. Butuh beberapa menit baginya untuk bangkit dari jongkok dan tangan yang tak lupa menggapai tembok. Wajah letihnya yang diliputi kerutan di mana-mana tak menunjukkan protes. Bahkan ketika seorang anak perempuannya muncul di dapur dengan rambut awut-awutan.

"Belum selesai juga bersihin kamar mandinya? Aku ada kuliah pagi bu. Bisa terlambat aku kalau jam segini belum mandi juga." Katanya acuh. Tak dihiraukannya peluh di kening ibunya yang mengalir deras. Perempuan paruh baya itu hanya tersenyum menanggapi sikap anaknya.

"Sabar Ana. Kamar mandinya sudah bersih, tinggal diisi air. Sebentar lagi airnya juga sudah penuh." Ana melirik sepintas air di bak mandi yang mengucur deras dari selang yang disambungkan dari pompa PDAM. Gadis itu mengangguk pelan lalu melangkah masuk ke kamar mandi tanpa berkomentar apapun. Sementara perempuan paruh baya itu segera berpaling ke arah kompor dan menyiapkan penggorengan. Gerakannya masih cekatan meskipun langkahnya tak secepat gerakan tangannya. Dalam hitungan detik saja, perempuan paruh baya itu sudah mengeluarkan nasi dari dalam magic com ke dalam dua piring dan menuang minyak goreng ke dalam penggorengan. Gerakan tangannya berhenti mendadak ketika sebuah suara bariton mengagetkannya.

"Ibu bikin sarapan lagi? Biarin kak Ana sendiri yang bikin bu? Kenapa selalu ibu yang repot?"
Dama, si bungsu sekaligus anak laki-laki satu-satunya memandang tegang ibunya yang siap-siap menggerus bumbu. Matanya yang dipaksa terbuka memperlihatkan sikap protes akan apa yang dilakukan ibunya.

"Ibu nggak repot, Dama. Ibu nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa bagaimana? Ibu itu punya anak perempuan, tapi kenapa selalu ibu yang melakukan pekerjaan rumah. Seperti nggak punya anak perempuan saja. Lihat kaki ibu, sampai nggak  bisa jalan begitu."

"Sudahlah Dama. jangan ganggu kakak-kakakmu. Ibu nggak mau ada pertengkaran lagi."

"Tapi bu....."

"Ada apa sih pagi-pagi sudah berisik." Gadis lain muncul dengan tangan menutup mulutnya yang menguap. Sepintas terlihat gadis berkulit putih bersih itu sudah mandi dan bersih badan. Padahal gadis cantik itu baru bangun dari tidur. Rambutnya yang dicat kecoklatan tergerai lurus meski sedikit acak-acakan. Dama menyindirnya tanpa ampun.

"Ini lagi si ratu jagat raya. Bisanya dandan melulu, bersih-bersih rumah kek. Jangan bangun tidur maunya beres terus."

"Dama, jangan ngomong begitu sama kakakmu. Sarapan Titian?" Perempuan paruh baya itu melempar senyum tulusnya ke anaknya yang lain. Titian tak langsung menjawab. Matanya mengawasi dapur sepintas, lalu ke cucian piring yang sudah bersih dan berakhir ke tangan ibunya yang sibuk menggerus bumbu. Gadis itu menepuk jidatnya pelan, lalu menghampiri ibunya.

"Biar aku yang masak bu. Ibu duduk manis saja dan mandi. eh.... " Titian mengacungkan jarinya ketika ibunya hendak mengatakan sesuatu. Lalu melanjutkan bicara. "Aku tahu ibu sudah mandi sebelum jam tiga pagi, sholat tajahud, ngaji sampai subuh, bersihin kamar mandi, nyuci piring, nyapu, ngepel dan lain-lain yang seharusnya ibu serahin ke kami. Jadi jagoan ibu ini nggak asal main tuduh." Titian melirik Dama dengan sinis. Lalu kembali memperhatikan ibunya yang bermandikan keringat.

"Lihat keringat ibu, jadi seperti belum mandi kan. Turutin kata-kataku dong bu. Sikap ibu yang suka mengerjakan pekerjaan rumah tanpa menyuruh anak ibu bikin kami sering salah paham."

"Ya ya ya.... ibu tahu. Ibu salah lagi ya. Ibu minta maaf." Perempuan paruh baya itu berpaling pergi. Tangannya yang menggapai tembok diraih Dama. Lalu menuntunnya berjalan. Dama melotot ke kakaknya dengan tajam.

"Jangan salahin ibu terus dong kak. Kenapa sih bikin ibu nangis terus."

"Tuh kan. Mulai lagi deh." Titian menghela nafas panjang melihat sikap adiknya. Maksud hati ingin menjadi penengah, kini ia merasa menjadi sumber masalah yang selalu rumit.

**


Tidak ada komentar:

Posting Komentar