Rabu, 26 Agustus 2015

Kanis setelah menangis semalam

Kanis tak menyangka jika Naya masih berada di dekatnya hingga subuh. Ia bahkan tak berusaha menyingkirkan kepala Kanis dari pangkuannya. Ketika mata Kanis akhirnya terbuka oleh silau mentari yang menyemburat lewat gorden kamarnya, Kanis langsung terduduk dan mengangkat kepalanya dari pangkuan Naya. Gadis manis berkulit sawo matang itu masih tertidur dengan bersandar di pinggiran ranjangnya. Kakinya pastilah kesemutan menahan kepala Kanis semalaman suntuk. Kanis terharu, perlahan dipeluknya sahabatnya itu tanpa bermaksud membangunkannya. Tapi terlambat, sentuhan tangan Kanis membuat kelopak mata Naya bergerak lalu membuka dengan perlahan. Dengan kepanikan yang sama seperti semalam, ia bergerak memegangi tangan Kanis.

"Kanis, kamu nggak apa-apa?! ya ampun... kamu panas." tangan Naya sudah berpindah ke dahi Kanis dengan sendirinya. Kanis ikut memegangi dahinya yang terasa hangat. Tapi ekspresi wajahnya terlihat datar.

"Makasih ya Nay, mau nemenin aku semalaman. Kamu pasti capek."

"Ngapain mikirin aku. Kamu yang perlu dipikirin. Memangnya Liam ngapain kamu sampai kamu nangis begitu. Liat nih, sekarang kamu sakit."

"Jangan dibahas dulu ya. Aku ...."

"Oke, nggak sekarang tapi nanti kamu harus cerita. Sekarang kita ke dokter. Aku nggak mau disalahin papa mamamu karena ninggalin anaknya sampai sakit begini."

"Loh, mereka sudah pulang?" Kanis merasa gugup. Kalau orang tuanya sudah pulang dari berlibur, berarti mereka tahu tentang keadaannya semalam. Dan itu artinya....

"Santai saja, mereka masih di Bali sama Izza. Kalau tahu kamu bakalan dibikin nangis begitu sama Liam, mending kamu ikutan keluargamu liburan ke Bali. Seneng-seneng di sanur, kute."

"Aku nggak suka pantai. kamu sudah tahu itu kan."

"Oke.... no comment. Tapi sekarang nggak boleh nolak ke dokter. Ayo..."

Naya membantu Kanis berdiri, tapi keduanya malah jatuh ke tempat tidur. Kanis tertawa, tapi tak berapa lama karena Naya mencubitnya cukup keras di lengan. Bukan lelucon. sindirnya. Lalu dengan tenaga yang dipunyanya, gadis manis itu memapah Kanis keluar kamar. wajah Kanis yang semakin pucat membuat Naya makin khawatir. Di depan pintu kamar, ia menelpon taksi. lalu berhati-hati menuruni tangga. Tak dihiraukannya Kanis yang berusaha berjalan sendiri.

**

Tefan sedikit berlari menuju ruang rawat melati di lantai dua rumah sakit. Sms dari Naya membuat kekhawatirannya semakin menjadi hingga ia beberapa kali hampir menabrak perawat yang lewat. Nafasnya yang menderu kencang akhirnya perlahan tenang setelah melihat Naya berdiri di depan pintu kamar rawat bersama seorang dokter. Ia pun menghampiri mereka.

"Gimana Kanis?! Apa ada yang serius?!" tanya Tefan memburu. Naya yang kaget dengan kemunculan laki-laki yang memang sedang ditunggunya itu berusaha menenangkan. Namun dokterlah yang menjawab Tefan.

"Mbak Kanis hanya kecapekan, sebentar lagi juga boleh pulang. Sarankan untuk istirahat ya. Jangan terlalu banyak mikir."

"Makasih dok." Naya yang menjawab. Dokter itu pun tersenyum dan berlalu dengan tenang. Tefan ikut lega mendengarnya lalu bergegas masuk ke ruang rawat.

Kanis tiduran setengah duduk di atas ranjangnya. Wajah pucatnya memandang Tefan dengan gusar. Ia enggan ditanya soal kejadian kemaren. Malu bercampur marah jika Tefan mendengarnya. Beruntung hanya Naya yang melihat tangisannya yang seperti bayi semalam.

"Jangan bicara dulu. Aku ada di sini kok. Habis ini kamu pulang, aku akan ikut jagain sampai kamu beneran sehat lagi." kata Tefan menenangkan. Ia bisa melihat kelegaan yang sama di mata Kanis. Seperti dugaannya, gadis berkulit putih bersih itu masih tak ingin membuka cerita tentang Liam. Sosok yang membuatnya merasa tersaingi. Tefan mengerti. Berusaha mengerti untuk tak membuka cerita di saat kondisi Kanis selemah ini. Ia tahu, gadisnya itu bukan sakit fisik. Tapi batin. Di dasar hatinya, ia berharap bisa menambal luka batin Kanis meskipun hanya sedikit.



1 komentar: